Kamis, 15 November 2012

“BERANI JUJUR HEBAT”: PERLU AKSI, JANGAN HANYA JARGON


Oleh: Hidayat Pratama Putra
“Persoalan korupsi di Indonesia terkategori kronis, bukan hanya membudaya melainkan sudah membudidaya”.[1]
Itulah Kalimat yang tercantum dalam bagian Rasional dari petunjuk pelaksanaan lomba menulis nasional yang merupakan kerjasama Universitas Negeri Surabaya, KPK, dan Fakultas Hukum Unair. Kalimat ini merupakan kalimat yang memang paling cocok untuk menunjukkan kondisi korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia bukan lagi hanya sebatas budaya dari sepenggalan orang. Korupsi merupakan sesuatu yang membudidaya dalam semua aspek kehidupan dan telah turun temurun serta menjangkau semua golongan masyarakat.
Sering tidak disadari bahwa banyak masyarakat yang senantiasa mengecam pejabat-pejabat korupsi, ternyata juga menunjukkan adanya gejala-gejala korupsi pada dirinya. Hal tersebut menyangkut dari hal-hal yang paling kecil hingga yang paling besar.  Pedagang yang mengurangi timbangan, penyuapan demi kelancaran suaru urusan, hingga menitip tanda tangan dalam daftar hadir kuliah merupakan secuil dari contoh gejala-gejala korupsi. Gejala ini jika tidak segera tidak ditangani tentu saja akan mendatangkan penyakit akut yang bernama korupsi.
Pedagang yang mengurangi timbangan merupakan fenomena yang sering ditemui di pasar tradisional. Para pedagang kecil seperti pedagang buah dan pedagang ikan yang melakukan hal itu telah menanam benih korupsi yang suatu saat dapat tumbuh lebat jika dipelihara dan mendapat lahan yang baik.  Itu baru buah-buahan dan ikan. Bayangkan jika mereka duduk di Instansi Pemerintah dan menangani proyek besar. Tentunya bisa saja bukan lagi ikan dan buah yang dikurangi timbangannya, tetapi barang-barang proyek yang dikurangi kualitasnya dengan harga proposal yang mungkin sangat tinggi.
Pemaparan Bambang Soesatyo[2] berdasarkan data yang ia peroleh bahwa bentuk korupsi yang paling sering dilakukan adalah Mark up dan Hal-hal lain yang berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh Theodorus M. Tuanakotta[3] yang menempatkan Pengadaan Barang dan Jasa di nomor satu sebagai Sumber Kerugian Negara. Sehingga patut disadari bahwa perbuatan mengurangi timbangan merupakan bibit dari Mark Up dan sejenisnya yang akan tumbuh subur di tanah yang baik.
Dari situ dapat ditarik premis bahwa untuk memberantas Budidaya Korupsi, tidak cukup dengan mematikan induknya saja, tetapi juga hingga bibit-bibitnya. Sehingga aksi demonstrasi anti korupsi saja tidak cukup karena hanya akan menggangu induknya saja. Sementara bibit-bibitnya masih terkubur dalam diri-diri pendemo. Bibit-bibit tersebut dapat tumbuh menjadi makhluk yang sangat subur apabila telah berada di Tanah yang gembur yaitu Instansi Pemerintah.
Jika dipikir secara serius, bahwa sebenarnya korupsi merupakan sebuah bentuk kebohongan yang dilakukan orang untuk memperkaya diri sendiri dan atau orang lain. Namun, kebohongan berbentuk korupsi ternyata dapat menggoyangkan negara. Hal ini karena kebohongan tersebut dapat mengikis pilar anggaran negara yang merupakan energi identitas suatu negara. sehingga tidak salah jika banyak stiker dari KPK disebarkan dengan isi jargon “Berani Jujur Hebat”.
Pertanyaan mungkin akan muncul “sudahkah stiker Berani Jujur Hebat tersebut tertempel dalam hati dan otak masyarakat?”. Pertanyaan ini hanya akan bisa dijawab oleh pribadi masyarakat masing-masing. Stiker dan jargon di dalamnya itu tidak cukup hanya menjadi tempelan indah di motor, mobil, maupun barang lainnya, tetapi harus bisa dinyalakan. Cara menyalakannya adalah melakukan aksi yang disebut oleh stiker tersebut yaitu sikap berani jujur.
Sikap jujur merupakan suatu aksi nyata yang mampu secara ampuh membunuh benih-benih korupsi dalam diri masyarakat. Jujur merupakan racun bagi bibit-bibit tersebut agar sulit untuk tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar. Kejujuran merupakan upaya yang paling mampu mengubah keadaan  jika dilakukan oleh semua orang. Aksi jujur merupakan upaya Bottom Up dalam merusak budidaya korupsi di Indonesia.
Aksi berani jujur akan lebih berpengaruh dibandingkan aksi demo anti korupsi. Mereka yang melakukan demo biasanya bukan merupakan pegawai negeri atau pejabat negara sehingga tidak pernah merasakan atmosfer keuangan negara. Seandainya mereka merasakannya mungkin saja merekalah yang menjadi mega koruptor indonesia. Oleh karena itu aksi nyata berupa komitmen untuk jujur juga merupakan upaya membuktikan bahwa seseorang tidak berjiwa korupsi.
Oleh karena itu, mari mulai beraksi dan berkomitmen untuk jujur mulai dari hal-hal yang paling kecil. Mencukupkan timbangan ikan dan buah, menjalankan prosedur sesuatu urusan dengan jujur, hingga jujur dalam mengisi daftar hadir kuliah merupakan contoh hal kecil tersebut. Setelah itu, maka perlahan-lahan sistempun akan dapat berubah maupun diubah sehingga korupsi menjadi sulit dilakukan.


[1] Dikutip dari Subbab A (Rasional) Petunjuk Pelaksanaan Lomba Menulis Nasional. .http://www.indonesiamenulis.co/?tampil=umumx&id=3 (diakses tanggal 1 November 2012.
[2] Disampaikan dalam sambutan dan Kuliah Umum tentang Korupsi pada Pembukaan Pusat Studi Hukum dan Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di ruang Video Conference Laica Marzuki pada tanggal 17 Oktober 2012.
[3] Dalam Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara (Jakarta:Penerbit Rajawali Pers, 2011), Hal 112-113.