Oleh: Hidayat Pratama Putra
“Persoalan
korupsi di Indonesia terkategori kronis, bukan hanya membudaya melainkan
sudah membudidaya”.[1]
Itulah
Kalimat yang tercantum dalam bagian Rasional dari petunjuk pelaksanaan lomba menulis
nasional yang merupakan kerjasama Universitas Negeri Surabaya, KPK, dan
Fakultas Hukum Unair. Kalimat ini merupakan kalimat yang memang paling cocok
untuk menunjukkan kondisi korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia bukan lagi
hanya sebatas budaya dari sepenggalan orang. Korupsi merupakan sesuatu yang
membudidaya dalam semua aspek kehidupan dan telah turun temurun serta
menjangkau semua golongan masyarakat.
Sering
tidak disadari bahwa banyak masyarakat yang senantiasa mengecam pejabat-pejabat
korupsi, ternyata juga menunjukkan adanya gejala-gejala korupsi pada dirinya.
Hal tersebut menyangkut dari hal-hal yang paling kecil hingga yang paling
besar. Pedagang yang mengurangi
timbangan, penyuapan demi kelancaran suaru urusan, hingga menitip tanda tangan
dalam daftar hadir kuliah merupakan secuil dari contoh gejala-gejala korupsi.
Gejala ini jika tidak segera tidak ditangani tentu saja akan mendatangkan
penyakit akut yang bernama korupsi.
Pedagang
yang mengurangi timbangan merupakan fenomena yang sering ditemui di pasar
tradisional. Para pedagang kecil seperti pedagang buah dan pedagang ikan yang
melakukan hal itu telah menanam benih korupsi yang suatu saat dapat tumbuh
lebat jika dipelihara dan mendapat lahan yang baik. Itu baru buah-buahan dan ikan. Bayangkan jika
mereka duduk di Instansi Pemerintah dan menangani proyek besar. Tentunya bisa
saja bukan lagi ikan dan buah yang dikurangi timbangannya, tetapi barang-barang
proyek yang dikurangi kualitasnya dengan harga proposal yang mungkin sangat
tinggi.
Pemaparan
Bambang Soesatyo[2]
berdasarkan data yang ia peroleh bahwa bentuk korupsi yang paling sering
dilakukan adalah Mark up dan Hal-hal
lain yang berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa. Hal ini sejalan dengan
yang dipaparkan oleh Theodorus M. Tuanakotta[3]
yang menempatkan Pengadaan Barang dan Jasa di nomor satu sebagai Sumber
Kerugian Negara. Sehingga patut disadari bahwa perbuatan mengurangi timbangan
merupakan bibit dari Mark Up dan
sejenisnya yang akan tumbuh subur di tanah yang baik.
Dari
situ dapat ditarik premis bahwa untuk memberantas Budidaya Korupsi, tidak cukup
dengan mematikan induknya saja, tetapi juga hingga bibit-bibitnya. Sehingga
aksi demonstrasi anti korupsi saja tidak cukup karena hanya akan menggangu
induknya saja. Sementara bibit-bibitnya masih terkubur dalam diri-diri pendemo.
Bibit-bibit tersebut dapat tumbuh menjadi makhluk yang sangat subur apabila
telah berada di Tanah yang gembur yaitu Instansi Pemerintah.
Jika
dipikir secara serius, bahwa sebenarnya korupsi merupakan sebuah bentuk
kebohongan yang dilakukan orang untuk memperkaya diri sendiri dan atau orang
lain. Namun, kebohongan berbentuk korupsi ternyata dapat menggoyangkan negara.
Hal ini karena kebohongan tersebut dapat mengikis pilar anggaran negara yang
merupakan energi identitas suatu negara. sehingga tidak salah jika banyak
stiker dari KPK disebarkan dengan isi jargon “Berani Jujur Hebat”.
Pertanyaan
mungkin akan muncul “sudahkah stiker Berani Jujur Hebat tersebut tertempel
dalam hati dan otak masyarakat?”. Pertanyaan ini hanya akan bisa dijawab oleh
pribadi masyarakat masing-masing. Stiker dan jargon di dalamnya itu tidak cukup
hanya menjadi tempelan indah di motor, mobil, maupun barang lainnya, tetapi
harus bisa dinyalakan. Cara menyalakannya adalah melakukan aksi yang disebut
oleh stiker tersebut yaitu sikap berani jujur.
Sikap
jujur merupakan suatu aksi nyata yang mampu secara ampuh membunuh benih-benih
korupsi dalam diri masyarakat. Jujur merupakan racun bagi bibit-bibit tersebut
agar sulit untuk tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar. Kejujuran merupakan
upaya yang paling mampu mengubah keadaan
jika dilakukan oleh semua orang. Aksi jujur merupakan upaya Bottom Up dalam merusak budidaya korupsi
di Indonesia.
Aksi
berani jujur akan lebih berpengaruh dibandingkan aksi demo anti korupsi. Mereka
yang melakukan demo biasanya bukan merupakan pegawai negeri atau pejabat negara
sehingga tidak pernah merasakan atmosfer keuangan negara. Seandainya mereka
merasakannya mungkin saja merekalah yang menjadi mega koruptor indonesia. Oleh
karena itu aksi nyata berupa komitmen untuk jujur juga merupakan upaya
membuktikan bahwa seseorang tidak berjiwa korupsi.
Oleh
karena itu, mari mulai beraksi dan berkomitmen untuk jujur mulai dari hal-hal
yang paling kecil. Mencukupkan timbangan ikan dan buah, menjalankan prosedur
sesuatu urusan dengan jujur, hingga jujur dalam mengisi daftar hadir kuliah
merupakan contoh hal kecil tersebut. Setelah itu, maka perlahan-lahan sistempun
akan dapat berubah maupun diubah sehingga korupsi menjadi sulit dilakukan.
[1]
Dikutip dari Subbab A (Rasional) Petunjuk Pelaksanaan Lomba Menulis Nasional. .http://www.indonesiamenulis.co/?tampil=umumx&id=3
(diakses tanggal 1 November 2012.
[2]
Disampaikan dalam sambutan dan Kuliah Umum tentang Korupsi pada Pembukaan Pusat
Studi Hukum dan Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di ruang
Video Conference Laica Marzuki pada tanggal 17 Oktober 2012.
[3]
Dalam Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan
Negara (Jakarta:Penerbit Rajawali Pers, 2011), Hal 112-113.