Senin, 23 April 2012

OPINI: MENDOBRAK BESI PENJARA DENGAN RESTORATIVE JUSTICE



Oleh: Hidayat Pratama Putra (B111 10 373)
Restorative Justice, sebuah nama yang yang baru ada ketika keberadaannya kembali dirindukan. Restorative justice merupakan salah satu proses yang telah lama ada. Namun istilah itu baru dikenal semenjak dirindukan akibat digusur oleh sesuatu yang bernama pengadilan formiil. Restorative justice kembali bergaung di dalam bidang hukum akibat ketidakpuasan terhadap sistem restitutive justice yang ada sekarang.
Restorative justice merupakan istilah untuk menunjukkan suatu proses mencari keadilan di luar pengadilan yaitu dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan orang-orang sekitar. Belum banyak referensi yang menjelaskan istilah tersebut diperkenalkan oleh siapa, namun dalam sebuah tulisan di kompasiana bahwa sistem hukum restorative diperkenalkan oleh seorang kriminolog, Braithwaite, pada tahun 1980-an. Restorative justice pada masa itu digunakan sebagai solusi alternatif penyelesaian perkara pidana anak.
Repotya pengadilan
Sebagai sebuah upaya alternatif, restorative justice dianggap cukup efektif dalam penyelesaian suatu kasus pidana tertentu. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pengadilan merupakan sebuah upaya yang menyusahkan, membuang waktu, tenaga, meskipun hanya mengurus hal-hal kecil misalnya mencuri singkong karena kelaparan. Abraham lincoln yang merupakan mantan presiden Amerika pernah mengatakan bahwa jangan menyelesaikan kasus melalui proses pengadilan karena meskipun kita menang, tapi kita tetap kehilangan uang, waktu dan tenaga.
 Jika kita ingat kasus aal sang pencuri sandal jepit, maka itu merupakan salah satu contoh betapa ruwetnya proses pengadilan. Aal yang hanya mencuri sandal jepit, harus merasakan dinginnya tembok sel hampir setahun karena persidangan yang sangat lama. Mungkin jika menggunakan hukum adat masalah itu sudah selesai tidak sampai seminggu, dengan hanya pertemuan silaturahmi antara pihak yang bermasalah. Hal itu tidak seharusnya terjadi mengingat biaya perkara mungkin lebih besar dari biaya sandal jepit, dan pelakunya juga masih tergolong anak-anak. Selain itu ujung dari kasus ini juga hanyalah vonis bersalah dengan hukuman dikembalikan ke orang tua. Yang terjadi akhirya psikologi anak terganggu akibat trauma penjara, persidangan, dan vonis bersalah yang mungkin dapat mempengaruhinya ke depan.
Tidak efektifnya hukuman penjara juga menjadikan proses hukum formiil membuat orang muak dengannya. Efek balas dendam yang tidak menimbulkan kepuasan melalui pidana penjara dan sama sekali tidak mendatangkan manfaat membuat orang cenderung muak dengan proses pengadilan. Entah mengapa warisan kolonial ini masih diterapkan di Indonesia. Padahal ini sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya dalam hukum adat Indonesia yang terbukti mampu membawa keharmonisan dan kedamaian di masyarakat adat.
Restorative Justice Menjawab
Dengan beberapa masalah di atas, restorative justice muncul sebagai solusi yang ditawarkan para pakar hukum dalam penyelesaian tindak pidana tertentu. Restorative justice menawarkan konsep mencapai keadilan dengan memperhatikan kepentingan pihak-pihak yaitu saksi, pelaku,  korban, dan masyarakat yang dalam hal ini dapat bertindak layaknya mediator. Masyarakat dilibatkan agar keadilan yang dicapai dapat menguntungkan pelaku, korban dan tidak merugikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian aspek kemanfaatan sangat ditonjolkan disini sebagai tujuan yang ingin dicapai. Restoratif justice mengutamakan kepentingan para pihak dan masyarakat yang mungkin banyak tidak dipayungi oleh pengadilan.
Di zaman formalitas dan kepastian hukum ini, berperkara hukum menjadi sangat teratur namun berlarut-larut. Teratur karena segala sesuatunya telah mempunyai prosedur, proses, dan aturan beracara yang jelas. Namun di sisi lain menjadi berlarut-larut karena banyak tetek bengek yang harus diurus untuk menyelesaikan persidangan yang dapat berjalan hingga bertahun-tahun. Dan ada orang yang harus ditahan di penjara dengan waktu yang lama hanya untuk menyelesaikan waktu sidang yang mungkin memvonisnya tidak bersalah. Ini yang membuat akhirnya restorative justice dirindukan kehadirannya untuk mengatasi masalah-masalah hukum yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan jalan restorative justice. Tentunya hanya tindak pidana ringan, yang masih dapat ditolerir yang dapat dicapai hasilnya melalui restorative justice. Pidana anak misalnya, yang sudah diterapkan sistem restorative justice untuk menanganinya di Selandia baru, Kanada, Inggris dan lain-lain. Kasus di Indonesia seperti kasus aal, kasus pencurian semangka, kapuk dll pun sudah seharusnya dapat dicapai keadilan dengan restorative justice, tanpa harus membuat anak-anak ataupun nenek tua mendekam di penjara. Hal itu agar kerugian yang didapat dari biaya perkara tidak lebih besar dari kerugian akibat tindak pidana tersebut.
Prospek Restorative Justice di Indonesia
Telah banyak para pakar hukum Indonesia yang menjulurkan konsep ini untuk menyelesaian perkara-perkara yang tergolong ringan. Para pakar hukum menyadari bahwa tidak seharusnya proses-proses formal yang lebih mengutamakan kepastian hukum ini membuat sulit masyarakat. Dalam melihat hukum sebagai law in action, proses pengadilan formal sangat tidak efektif dilakukan untuk kasus-kasus pidana ringan karena hanya akan menyusahkan para pihak. Proses tersebut tidak akan mewujudkan kemanfaatan dan bahkan keadilan restoratif bisa didapatkan mungkin hanya dengan sekali atau dua kali pertemuan.
Di Indonesia sendiri, proses perwujudan restorative justice bukan merupakan anak baru lahir. Proses ini bahkan sudah mendewasa dan merupakan proses yang banyak diterapkan dalam hukum adat. Upaya ini mulai terkikis akibat semakin susahnya bersosialisasi terutama di kota besar karena masyarakat indonesia yang cenderung mulai menjadi individualistis. Tetapi upaya restorative justice masih ada dan berkembang hingga sekarang yang dapat dilihat terutama di kampung-kampung yang masih sedikit tersentuh kehidupan metropolitan.
Masalah perubahan pola hidup masyarakat itu pula yang kemudian menghambat perwujudan restorative justice. Perubahan zaman, kemajuan teknologi, revolusi dan evolusi sistem hukum, sosial dan budanya membuat masyarakat perlahan-lahan menjadi individualis. Kecenderungan masyarakat sekarang, utamanya masyarakat kota yang sangat sibuk dengan aktivitas sendiri dan sangat jarang bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Ini tentunya fenomena yang tidak baik mengingat nilai-nilai yang sudah berkembang dan mendarah daging dalam masyarakat Indonesia adalah nilai komunal. Inilah sebenarnya yang harus disadari agar kemudian, keharmonisan dan kedamaian dapat terwujud dan restorative justice dapat dicapai untuk menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat.
Akan tetapi saya tetap percaya kalau penerapan restorative justice di Indonesia dapat berlangsung dengan baik. Adat yang sudah lama menerapkan sistem ini dan sifat komunal masyarakat di Indonesia membuat perjalanan restorative justice kemungkinan akan mulus. Bahkan bukan tidak mungkin kalau sistem ini akan menjadi alternatif yang termasuk di dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Tentunya ini perlahan akan mengubah budaya hukum di Indonesia misalnya mungkin akan ada lembaga-lembaga mediasi dan lain-lain yang menjadi tongggak sistem retorative justice. Dengan demikian tak harus ada lagi anak kecil ataupun nenek tua yang harus merasakan dinginnya tidur di penjara karena hanya sekedar mencuri sandal jepit ataupun singkong, semangka dan lain-lain.

Senin, 02 April 2012

OPINI: DEMONSTRASI MARAK, WUJUD KETIDAKPERCAYAAN PADA WAKIL RAKYAT



Aksi damai  mahasiswa unhas menolak kenaikan BBM yang tidak ditayangkan oleh banyak media karena berlangsung damai (tidak anarkis)

Demonstrasi pada pekan ini marak terjadi dalam rangka menolak kenaikan BBM atau yang disebut pemerintah sebagai penyesuaian harga BBM. Demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa maupun bukan mahasiswa dalam rangka memperjuangkan aspirasinya untuk menolak kenaikan harga BBM. Demonstrasi yang dilakukan baik dengan cara yang damai maupun dengan kekerasan.
Demonstrasi merupakan suatu cara untuk menyuarakan aspirasi yang dijamin dalam UU sebagai kebebasan berpendapat. Demonstrasi juga dapat dikatakan sebagai salah satu proses menjalankan fungsi mahasiswa yaitu agent of social control. Sudah menjadi budaya yang tidak asing lagi dikalangan mahasiswa bahwa lembaga terutama eksekutif kemahasiswaan dituntut secara moril untuk melakukan demonstrasi.
Demonstrasi bukan merupakan sesuatu yang tabu lagi di Indonesia. Sejak bergulirnya reformasi, semangat membara para mahasiswa yang diikuti dengan kebebasan berpendapat menjadi pilar maraknya demonstrasi di Indonesia. Demonstrasi mampu menjadi upaya intervensi dalam pengambilan kebijakan pemerintah di era reformasi ini. Para demonstran inilah yang kemudian dikenal sebagai ekstraparlemen.
Sebenarnya telah diketahui bahwa sudah ada orang-orang yang dipilih rakyat sebagai wakil untuk menyarakan aspirasinya kepada pemerintah. Inilah yang kemudian dikenal sebagai parlemen. Semua kebijakan pemerintah harus melalui persetujuan DPR terlebih dahulu untuk dapat ditetapkan. Lantas mengapa harus ada parlemen jalanan sementara ada parlemen yang merupakan wakil-wakil rakyat untuk bersuara?
Inilah bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat sudah kurang percaya dengan anggota dewan yang bekerja di senayan. Padahal rakyat jualah yang memilih mereka untuk mewakili aspirasinya di pemerintahan. Rakyat mulai bosan dengan anggota DPR yang tidak lagi mampu memperjuangkan aspirasi rakyat dan hanya mampu meberi contoh tidak baik kepada masyarakat seperti tidur saat sidang, tidak menghadiri  sidang dan bahkan melakukan korupsi.
Jika ditelusuri lebih lanjut, maka dasar dari permasalahan ini adalah wakil rakyat tidak secara penuh berpihak pada rakyat dan lebih mendahulukan kepentingan partai. Ini menyebabkan kurangnya check and balances dalam pemerintahan. Ini dapat dilihat dari adanya upaya koalisi yang dilakukan untuk mendapatkan jatah kekuasaan dan menunjukkan eksistensi partai politik di pemerintahan. Kemudian di satu sisi pihak koalisi cenderung untuk selalu menaati pemerintah, di sisi lain ada pihak oposisi yang memiliki kecenderungan untuk menjatuhkan pemerintah. Ini merupakan fenomena politik yang patut dicermati karena berkaitan dengan nasib bangsa.
Jika kita lihat peta pengambilan keputusan dalam hal penentuan kebijakan kenaikan BBM maka disitu dilihat bahwa para anggota DPR terkotak-kotak berdasarkan fraksi. Dan celakanya lagi, pihak koalisi lebih banyak dibanding oposisi sehingga hasiilnya hampir sudah dapat ditebak. Tuntutan dari partai yang membuat mereka mau tidak mau harus satu suara untuk menolak ataupun menerima kebijakan tersebut.  Hal itulah yang kemudian menyebabkan masyarakat tidak terwakili dengan adanya anggota DPR tersebut sehingga muncullah istilah parlemen jalanan sebagai bentuk ketidakpuasan dari para anggota parlemen. Ini yang harus dipikirkan oleh para akademisi di bidang politik Indonesia tentang bagaimana sistem politik yang cocok diberlakukan di Indonesia, walaupun fenomena ini juga terjadi di negara-negara maju sekalipun.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah, mengapa harus ada demonstrasi anarkis? Saya rasa setidaknya ada tiga hal yang dapat menjadi jawaban pertanyaan tersebut. Yang pertama bahwa mungkin Mahasiswa Indonesia yang kebanyakan memang suka berbuat anarkis. Statemen ini bisa saja benar, karena jika kita lihat proses pendidikan di perguruan tinggi yang masih banyak doktrin-doktrin sesat, terutama dari senior pada saat masa orientasi mahasiswa. Budaya-budaya dan doktrin-doktrin anarkisme yang berkembang di lingkungan akademik memang sudah menjadi masalah klasik yang sampai sekarang masih butuh pemecahan.
Yang kedua adalah peran media massa dalam menyampaikan berita tentang aspirasi yang dikemukakan oleh mahasiswa yang tidak berimbang. Jika demonstrasi mahasiswa dilakukan secara damai, maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada berita tentang demonstrasi tersebut. Lain halnya jika demonstrasi dilakukan dengan cara-cara anarkis, memacetkan jalan, merusak fasilitas umum, dan mengganggu ketertiban umum. Jika hal tersebut terjadi maka dapat dipastikan demonstrasi tersebut akan diberitakan disertai dengan aspirasi apa yang ingin disampaikan dari demo tersebut, meskipun demo tersebut dilakukan di tempat yang tidak pernah tersentuh liputan media sekalipun.
Hal ketiga adalah jika tidak melakukan kakacauan dan keributan, maka pemerintah tidak akan ambil pusing menanggapi aspirasi tersebut. Bayangkan jika demo hanya dilakukan dengan berteriak dijalan, maka teriakan itu hanya akan menjadi angin sepoi-sepoi yang akan mentul ketika sampai di telinga pemerintah. Namun jika terjadi kekacauan, maka sudah pasti pemerintah terpaksa akan pusing memikirkan solusi agar kekacauan tidak terjadi. Oleh karenanya pemerintah menyambut aspirasi tersebut karena terpaksa agar situasi negara tetap aman dan stabil. Ini pula yang kemudian menyebabkan demo anarkis lebih efektif untuk mengintervensi keputusan dibandingkan berharap pada parlemen atau melakukan demonstrasi damai
Oleh karena itu, diperlukan solusi terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan tersebut. Para pakar politik dan tata negara kini harus mulai berpikir bagaimana agar aspirasi masyarakat dapat tersalurkan melalui suatu wadah tanpa harus ada lagi ekstraparlemen. Ini dianggap perlu karena terjadi fenomena ketidakpercayaan rakyat kepada wakilnya sendiri. Selain itu dibutuhkan suatu pemerintah yang senantiasa memikirkan kepentingan rakyat dan mampu melakukan upaya-upaya dalam rangka menampung aspirasi rakyat dan dapat saling bertukar pendapat agar dapat terwujud negara demokrasi yang tidak kebablasan.