Oleh:
Hidayat Pratama Putra (B111 10 373)
Restorative
Justice,
sebuah nama yang yang baru ada ketika keberadaannya kembali dirindukan. Restorative justice merupakan salah satu
proses yang telah lama ada. Namun istilah itu baru dikenal semenjak dirindukan
akibat digusur oleh sesuatu yang bernama pengadilan formiil. Restorative justice kembali bergaung di
dalam bidang hukum akibat ketidakpuasan terhadap sistem restitutive justice
yang ada sekarang.
Restorative
justice
merupakan istilah untuk menunjukkan suatu proses mencari keadilan di luar
pengadilan yaitu dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan
orang-orang sekitar. Belum banyak referensi yang menjelaskan istilah tersebut
diperkenalkan oleh siapa, namun dalam sebuah tulisan di kompasiana bahwa sistem
hukum restorative diperkenalkan oleh seorang kriminolog, Braithwaite, pada
tahun 1980-an. Restorative justice
pada masa itu digunakan sebagai solusi alternatif penyelesaian perkara pidana
anak.
Repotya pengadilan
Sebagai
sebuah upaya alternatif, restorative
justice dianggap cukup efektif dalam penyelesaian suatu kasus pidana
tertentu. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pengadilan merupakan sebuah
upaya yang menyusahkan, membuang waktu, tenaga, meskipun hanya mengurus hal-hal
kecil misalnya mencuri singkong karena kelaparan. Abraham lincoln yang
merupakan mantan presiden Amerika pernah mengatakan bahwa jangan menyelesaikan
kasus melalui proses pengadilan karena meskipun kita menang, tapi kita tetap
kehilangan uang, waktu dan tenaga.
Jika kita ingat kasus aal sang pencuri sandal
jepit, maka itu merupakan salah satu contoh betapa ruwetnya proses pengadilan.
Aal yang hanya mencuri sandal jepit, harus merasakan dinginnya tembok sel
hampir setahun karena persidangan yang sangat lama. Mungkin jika menggunakan
hukum adat masalah itu sudah selesai tidak sampai seminggu, dengan hanya
pertemuan silaturahmi antara pihak yang bermasalah. Hal itu tidak seharusnya
terjadi mengingat biaya perkara mungkin lebih besar dari biaya sandal jepit,
dan pelakunya juga masih tergolong anak-anak. Selain itu ujung dari kasus ini
juga hanyalah vonis bersalah dengan hukuman dikembalikan ke orang tua. Yang
terjadi akhirya psikologi anak terganggu akibat trauma penjara, persidangan,
dan vonis bersalah yang mungkin dapat mempengaruhinya ke depan.
Tidak
efektifnya hukuman penjara juga menjadikan proses hukum formiil membuat orang
muak dengannya. Efek balas dendam yang tidak menimbulkan kepuasan melalui
pidana penjara dan sama sekali tidak mendatangkan manfaat membuat orang
cenderung muak dengan proses pengadilan. Entah mengapa warisan kolonial ini masih
diterapkan di Indonesia. Padahal ini sama sekali tidak pernah dikenal sebelumnya
dalam hukum adat Indonesia yang terbukti mampu membawa keharmonisan dan
kedamaian di masyarakat adat.
Restorative
Justice Menjawab
Dengan
beberapa masalah di atas, restorative
justice muncul sebagai solusi yang ditawarkan para pakar hukum dalam
penyelesaian tindak pidana tertentu. Restorative
justice menawarkan konsep mencapai keadilan dengan memperhatikan kepentingan
pihak-pihak yaitu saksi, pelaku, korban,
dan masyarakat yang dalam hal ini dapat bertindak layaknya mediator. Masyarakat
dilibatkan agar keadilan yang dicapai dapat menguntungkan pelaku, korban dan
tidak merugikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian aspek kemanfaatan
sangat ditonjolkan disini sebagai tujuan yang ingin dicapai. Restoratif justice
mengutamakan kepentingan para pihak dan masyarakat yang mungkin banyak tidak
dipayungi oleh pengadilan.
Di
zaman formalitas dan kepastian hukum ini, berperkara hukum menjadi sangat
teratur namun berlarut-larut. Teratur karena segala sesuatunya telah mempunyai
prosedur, proses, dan aturan beracara yang jelas. Namun di sisi lain menjadi
berlarut-larut karena banyak tetek bengek yang harus diurus untuk menyelesaikan
persidangan yang dapat berjalan hingga bertahun-tahun. Dan ada orang yang harus
ditahan di penjara dengan waktu yang lama hanya untuk menyelesaikan waktu
sidang yang mungkin memvonisnya tidak bersalah. Ini yang membuat akhirnya restorative justice dirindukan
kehadirannya untuk mengatasi masalah-masalah hukum yang dapat diselesaikan
secara kekeluargaan.
Tidak
semua tindak pidana dapat diselesaikan dengan jalan restorative justice. Tentunya hanya tindak pidana ringan, yang
masih dapat ditolerir yang dapat dicapai hasilnya melalui restorative justice. Pidana anak misalnya, yang sudah diterapkan
sistem restorative justice untuk
menanganinya di Selandia baru, Kanada, Inggris dan lain-lain. Kasus di
Indonesia seperti kasus aal, kasus pencurian semangka, kapuk dll pun sudah
seharusnya dapat dicapai keadilan dengan restorative
justice, tanpa harus membuat anak-anak ataupun nenek tua mendekam di
penjara. Hal itu agar kerugian yang didapat dari biaya perkara tidak lebih
besar dari kerugian akibat tindak pidana tersebut.
Prospek Restorative Justice di Indonesia
Telah
banyak para pakar hukum Indonesia yang menjulurkan konsep ini untuk
menyelesaian perkara-perkara yang tergolong ringan. Para pakar hukum menyadari
bahwa tidak seharusnya proses-proses formal yang lebih mengutamakan kepastian
hukum ini membuat sulit masyarakat. Dalam melihat hukum sebagai law in action, proses pengadilan formal
sangat tidak efektif dilakukan untuk kasus-kasus pidana ringan karena hanya
akan menyusahkan para pihak. Proses tersebut tidak akan mewujudkan kemanfaatan
dan bahkan keadilan restoratif bisa didapatkan mungkin hanya dengan sekali atau
dua kali pertemuan.
Di
Indonesia sendiri, proses perwujudan restorative justice bukan merupakan anak
baru lahir. Proses ini bahkan sudah mendewasa dan merupakan proses yang banyak
diterapkan dalam hukum adat. Upaya ini mulai terkikis akibat semakin susahnya
bersosialisasi terutama di kota besar karena masyarakat indonesia yang
cenderung mulai menjadi individualistis. Tetapi upaya restorative justice masih
ada dan berkembang hingga sekarang yang dapat dilihat terutama di
kampung-kampung yang masih sedikit tersentuh kehidupan metropolitan.
Masalah
perubahan pola hidup masyarakat itu pula yang kemudian menghambat perwujudan
restorative justice. Perubahan zaman, kemajuan teknologi, revolusi dan evolusi
sistem hukum, sosial dan budanya membuat masyarakat perlahan-lahan menjadi
individualis. Kecenderungan masyarakat sekarang, utamanya masyarakat kota yang
sangat sibuk dengan aktivitas sendiri dan sangat jarang bersosialisasi dengan
lingkungan sosialnya. Ini tentunya fenomena yang tidak baik mengingat
nilai-nilai yang sudah berkembang dan mendarah daging dalam masyarakat
Indonesia adalah nilai komunal. Inilah sebenarnya yang harus disadari agar
kemudian, keharmonisan dan kedamaian dapat terwujud dan restorative justice
dapat dicapai untuk menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat.
Akan
tetapi saya tetap percaya kalau penerapan restorative justice di Indonesia dapat
berlangsung dengan baik. Adat yang sudah lama menerapkan sistem ini dan sifat
komunal masyarakat di Indonesia membuat perjalanan restorative justice
kemungkinan akan mulus. Bahkan bukan tidak mungkin kalau sistem ini akan
menjadi alternatif yang termasuk di dalam sistem pemidanaan di Indonesia.
Tentunya ini perlahan akan mengubah budaya hukum di Indonesia misalnya mungkin
akan ada lembaga-lembaga mediasi dan lain-lain yang menjadi tongggak sistem
retorative justice. Dengan demikian tak harus ada lagi anak kecil ataupun nenek
tua yang harus merasakan dinginnya tidur di penjara karena hanya sekedar
mencuri sandal jepit ataupun singkong, semangka dan lain-lain.