Kamis, 15 November 2012

“BERANI JUJUR HEBAT”: PERLU AKSI, JANGAN HANYA JARGON


Oleh: Hidayat Pratama Putra
“Persoalan korupsi di Indonesia terkategori kronis, bukan hanya membudaya melainkan sudah membudidaya”.[1]
Itulah Kalimat yang tercantum dalam bagian Rasional dari petunjuk pelaksanaan lomba menulis nasional yang merupakan kerjasama Universitas Negeri Surabaya, KPK, dan Fakultas Hukum Unair. Kalimat ini merupakan kalimat yang memang paling cocok untuk menunjukkan kondisi korupsi di Indonesia. Korupsi di Indonesia bukan lagi hanya sebatas budaya dari sepenggalan orang. Korupsi merupakan sesuatu yang membudidaya dalam semua aspek kehidupan dan telah turun temurun serta menjangkau semua golongan masyarakat.
Sering tidak disadari bahwa banyak masyarakat yang senantiasa mengecam pejabat-pejabat korupsi, ternyata juga menunjukkan adanya gejala-gejala korupsi pada dirinya. Hal tersebut menyangkut dari hal-hal yang paling kecil hingga yang paling besar.  Pedagang yang mengurangi timbangan, penyuapan demi kelancaran suaru urusan, hingga menitip tanda tangan dalam daftar hadir kuliah merupakan secuil dari contoh gejala-gejala korupsi. Gejala ini jika tidak segera tidak ditangani tentu saja akan mendatangkan penyakit akut yang bernama korupsi.
Pedagang yang mengurangi timbangan merupakan fenomena yang sering ditemui di pasar tradisional. Para pedagang kecil seperti pedagang buah dan pedagang ikan yang melakukan hal itu telah menanam benih korupsi yang suatu saat dapat tumbuh lebat jika dipelihara dan mendapat lahan yang baik.  Itu baru buah-buahan dan ikan. Bayangkan jika mereka duduk di Instansi Pemerintah dan menangani proyek besar. Tentunya bisa saja bukan lagi ikan dan buah yang dikurangi timbangannya, tetapi barang-barang proyek yang dikurangi kualitasnya dengan harga proposal yang mungkin sangat tinggi.
Pemaparan Bambang Soesatyo[2] berdasarkan data yang ia peroleh bahwa bentuk korupsi yang paling sering dilakukan adalah Mark up dan Hal-hal lain yang berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh Theodorus M. Tuanakotta[3] yang menempatkan Pengadaan Barang dan Jasa di nomor satu sebagai Sumber Kerugian Negara. Sehingga patut disadari bahwa perbuatan mengurangi timbangan merupakan bibit dari Mark Up dan sejenisnya yang akan tumbuh subur di tanah yang baik.
Dari situ dapat ditarik premis bahwa untuk memberantas Budidaya Korupsi, tidak cukup dengan mematikan induknya saja, tetapi juga hingga bibit-bibitnya. Sehingga aksi demonstrasi anti korupsi saja tidak cukup karena hanya akan menggangu induknya saja. Sementara bibit-bibitnya masih terkubur dalam diri-diri pendemo. Bibit-bibit tersebut dapat tumbuh menjadi makhluk yang sangat subur apabila telah berada di Tanah yang gembur yaitu Instansi Pemerintah.
Jika dipikir secara serius, bahwa sebenarnya korupsi merupakan sebuah bentuk kebohongan yang dilakukan orang untuk memperkaya diri sendiri dan atau orang lain. Namun, kebohongan berbentuk korupsi ternyata dapat menggoyangkan negara. Hal ini karena kebohongan tersebut dapat mengikis pilar anggaran negara yang merupakan energi identitas suatu negara. sehingga tidak salah jika banyak stiker dari KPK disebarkan dengan isi jargon “Berani Jujur Hebat”.
Pertanyaan mungkin akan muncul “sudahkah stiker Berani Jujur Hebat tersebut tertempel dalam hati dan otak masyarakat?”. Pertanyaan ini hanya akan bisa dijawab oleh pribadi masyarakat masing-masing. Stiker dan jargon di dalamnya itu tidak cukup hanya menjadi tempelan indah di motor, mobil, maupun barang lainnya, tetapi harus bisa dinyalakan. Cara menyalakannya adalah melakukan aksi yang disebut oleh stiker tersebut yaitu sikap berani jujur.
Sikap jujur merupakan suatu aksi nyata yang mampu secara ampuh membunuh benih-benih korupsi dalam diri masyarakat. Jujur merupakan racun bagi bibit-bibit tersebut agar sulit untuk tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar. Kejujuran merupakan upaya yang paling mampu mengubah keadaan  jika dilakukan oleh semua orang. Aksi jujur merupakan upaya Bottom Up dalam merusak budidaya korupsi di Indonesia.
Aksi berani jujur akan lebih berpengaruh dibandingkan aksi demo anti korupsi. Mereka yang melakukan demo biasanya bukan merupakan pegawai negeri atau pejabat negara sehingga tidak pernah merasakan atmosfer keuangan negara. Seandainya mereka merasakannya mungkin saja merekalah yang menjadi mega koruptor indonesia. Oleh karena itu aksi nyata berupa komitmen untuk jujur juga merupakan upaya membuktikan bahwa seseorang tidak berjiwa korupsi.
Oleh karena itu, mari mulai beraksi dan berkomitmen untuk jujur mulai dari hal-hal yang paling kecil. Mencukupkan timbangan ikan dan buah, menjalankan prosedur sesuatu urusan dengan jujur, hingga jujur dalam mengisi daftar hadir kuliah merupakan contoh hal kecil tersebut. Setelah itu, maka perlahan-lahan sistempun akan dapat berubah maupun diubah sehingga korupsi menjadi sulit dilakukan.


[1] Dikutip dari Subbab A (Rasional) Petunjuk Pelaksanaan Lomba Menulis Nasional. .http://www.indonesiamenulis.co/?tampil=umumx&id=3 (diakses tanggal 1 November 2012.
[2] Disampaikan dalam sambutan dan Kuliah Umum tentang Korupsi pada Pembukaan Pusat Studi Hukum dan Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin di ruang Video Conference Laica Marzuki pada tanggal 17 Oktober 2012.
[3] Dalam Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara (Jakarta:Penerbit Rajawali Pers, 2011), Hal 112-113.

Selasa, 12 Juni 2012

PENINGKATAN BUDAYA LITERASI DAN SEKTOR LITBANG UNTUK MEMAJUKAN KUALITAS SDM INDONESIA


Oleh: Hidayat Pratama Putra
Indonesia merupakan negara dengan Sumber daya alam, kebudayaan, keberagaman, sumber daya manusia dan kekayaan lain yang sangat luar biasa. Namun hingga saat ini, dengan kekayaan yang dimiliki, Indonesia hanya mampu menjadi negara berkembang. Salah satu faktor utama dari kurang optimalnya potensi tersebut adalah sumber daya manusia yang kurang berkualitas. Jika dibandingkan Jepang dan Korea Selatan, Indonesia memiliki kekayaan alam yang jauh lebih baik. Namun peningkatan kualitas SDM membuat negara-negara tersebut lebih maju dari Indonesia. Keunggulan SDM dapat dilihat dari budaya literasi yang ada di negara tersebut.
Indonesia masih memiliki budaya literasi yang sangat rendah. Hanya satu dari 10.000 orang Indonesia yang suka membaca.[1] Artinya hanya 0,01% penduduk Indonesia atau sekitar 2,4 juta dari 237.556.363 orang Indonesia[2] yang suka membaca. Bandingkan dengan orang Jepang yang biasa terlihat di film-film senantiasa membaca dimanapun dan kapanpun. Di sisi lain, produksi buku Indonesia setara dengan produksi buku Malaysia dan Vietnam, tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk tentunya produksi buku Indonesia dianggap masih sangat rendah. Sedangkan di Jepang, jumlah toko buku hampir sama dengan jumlah toko buku di negara sebesar Amerika[3].
Padahal budaya literasi menjadi ukuran kemajuan suatu peradaban. Pada masa kejayaan Islam, peradaban Islam menjadi peradaban garda depan yang ditopang oleh buku[4]. Misalnya di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Yang terkenal di antaranya adalah Perpustakaan Umum Cordova, yang saat itu memiliki tidak kurang dari 400 ribu judul buku.[5] Contoh lainnya yaitu Amerika yang telah lebih dahulu sampai ke Bulan karena senantiasa meningkatkan budaya literasi. Saat ini juga Jepang menjadi negara sejajar dengan negara maju lain setelah melakukan restorasi Meiji yang membuatnya maju di bidang teknologi.
Di luar dari itu semua Indonesia sendiri telah menunjukkan potensinya dengan banyak menelurkan ilmuan-ilmuan yang cerdas. Namun mereka cenderung lebih memilih bekerja di luar negeri dibandingkan di Indonesia. Padahal Indonesia sangat membutuhkan mereka sebagai tonggak kemajuan bangsa. Namun hal tersebut bukan tidak beralasan, melainkan karena tidak adanya dukungan dari pemerintah Indonesia.
Melakukan penelitian dan pengembangan di Indonesia menjadi hal yang sangat sukar. Seperti diungkap salah seorang anggota i-4[6] Achmad Adhitya[7] bahwa ada dua faktor sulitnya mengaplikasikan gagasan di Indonesia. Faktor pertama adalah sikap pemerintah yang langsung menuntut kesuksesan dalam pengaplikasian gagasan dan kedua adalah masalah administrasi. Salah seorang ilmuan Indonesia yang bekerja di luar negeri menyatakan bahwa Pemerintah takut menyalurkan dana untuk penelitian karena takut gagal.[8]
Sektor litbang (Penelitian dan Pengembangan) di Indonesia memang masih lemah. Anggaran investasi litbang di Indonesia periode 2004-2006 sebesar 0,05% dari PDB[9], lebih rendah dibanding beberapa negara tetangga. Selain itu, anggaran penelitian dan pengembangan tidak dimasukkan dalam 20% APBN untuk pendidikan.
Dengan demikian penulis menganggap setidaknya ada dua solusi tepat guna meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Pertama adalah peningkatan budaya literasi, yang harus dimulai dari diri pribadi masyarakat dan didorong oleh pemerintah. Kedua Pemerintah harus berani mendorong penelitian dan pengembangan di Indonesia melalui bantuan mareriil maupun moril. Kedua solusi tersebut dianggap sebagai solusi jangka panjang maupun jangka pendek dalam meningkatkan kualitas dan optimalisasi potensi SDM di Indonesia.



                  [1] “Hanya 1 dari 10.000 Warga Indonesia Suka Membaca”, http://www.tempo.co/read/news/2012/01/12/079377034/Hanya-1-dari-10-Ribu-Warga-Indonesia-Suka-Membaca (diakses 20 Mei 2012)
[2] Data BPS 2010
[3] “Membangun Budaya Membaca Sepanjang Hayat”, http://perpustakaan.narotama.ac.id/2012/02/14/membangun-budaya-membaca-sepanjang-hayat (diakses 20 Mei 2012).
[4] “Masa Depan Peradaban Islam”, http://ustefan.wordpress.com/2010/04/19/masa-depan-peradaban-islam (diakses 20 Mei 2012).
[5] Ibid.
[6] I-4 adalah ikatan Ilmuan Internasional Indonesia.
[7] “Achmad Aditya: ‘Kami Bekerja untuk Indonesia’ “,http://paratokohlampung.blogspot.com/2011/11/achmad-adhitya-kami-bekerja-untuk.html (diakses 20 Mei 2012).
[8] Disampaikan dalam Acara Kick Andy dengan tema orang-orang Indonesia yang sukses di luar negeri.
[9] Laporan World Bank 2009 dalam Syahrul Aminullah, “Mengubah Skenario Anggaran Iptek Nasional”, www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9261 (diakses 20 Mei 2012).

Rabu, 23 Mei 2012

URAIAN SINGKAT KASUS SENGKETA INDONESIA DAN MALAYSIA MEMPEREBUTKAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN



Kasus Sipadan Ligitan merupakan kasus yang sangat terkenal bagi rakyat Indonesia. Kasus ini merupakan kasus panjang yang akhirnya membuat Indonesia kehilangan dua pulau yaitu Sipadan dan Ligitan. Kasus ini yang membuat kemudian muncul kasus baru seperti kasus ambalat. Kasus ini memang sangat sensitif mengingat kasus ini menyangkut wilayah kedaulatan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan memiliki daya tarik di bidang pariwisata.
Kasus ini berakar dari reaksi Malaysia pada tahun 1968 terhadap perjanjian kerjasama Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) pada tahun 1966. Reaksi tersebut berupa kerja sama Malaysia dengan Sabah Taiseki Oil Company. Reaksi tersebut merupakan tanggapan terhadap Eksplorasi Laut yang dilakukan di pulau Sipadan dan Ligitan.[1] Akhirnya Malaysia melakuan klaim terhadap Sipadan Ligitan pada 1969 sebagai wilayah kedaulatannya yang mendapat penolakan oleh Indonesia.
Setelah kasus tersebut bergulir, dilakukan upaya-upaya penyelesaian oleh kedua belah pihak. Upaya yang dilakukan menekankan pada upaya “duduk bersama” atau menghindari konflik militer. Sebagai langkah awal penyelesaian kasus ini, kedua pulau tersebut dinyatakan berstatus quo.
Ada perbedaan persepsi diantara kedua pihak terkait dengan status quo tersebut. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.[2] Hal ini tentunya bukan menyelesaikan perkara, malah meruncingkan perkara tersebut.
Penyelesaian kasus dicoba dengan menghindari meja pengadilan ICJ. Pada tahun 1976 melalui KTT ASEAN pertama di Bali, negara-negara mencoba membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN.  Akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan.[3]
Pada tahun 1989, kasus ini kembali diangkat oleh Presiden Soeharto dan PM Mahatir Madjid. Kasus ini makin panas setelah diketahui Sipadan Ligitan dimasukkan dalam wilayah Indonesia pada 1991 dan tanpa sepengetahuan Indonesia, terjadi banyak pembangunan di pulau tersebut oleh Malaysia.[4] Pada tahun 1992, keduanya sepakat menempuh upaya bilateral. Hasil pertemuan tersebut menyepakati perlunya dibentuk komisi bersama dan kelompok kerja bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Seiring jalannya kerja JC dan JWG tersebut, tidak muncul jalan keluar yang mampu menyelesaikan masalah. Kebuntuan terjadi dikarenakan kedua pihak yang saling berkeras dengan kepentingan masing-masing.
Masing-masing pemerintah menunjuk Wakil Khusus untuk menyelesaian kebuntuan JC dan JWG yaitu Indonesia oleh Mensesneg Moerdiono dan Malaysia oleh Wakil PM Datuk Anwar Ibrahim. Kesepakatan tidak muncul dari empat kali pertemuan antara keduanya, yang kemudian muncul rekomendasi untuk penyelesaian melalui ICJ. Akhirnya pada 7 Oktober 1996 dalam kunjungan ke Malaysia, Presiden Soeharto menyetujui rekomendasi tersebut. Kemudian dibuatkan kesepakatan Final and Binding pada 31 Mei 1997 yang kemudian diratifikasi oleh masing-masing pihak.[5]
Singkat cerita pada 1998 dimulai upaya penyelesaian melalui ICJ.  Akhirnya pada  Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
“ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld.”[6]
Jadi pertimbangan MI sangat jelas bahwa Malaysia lebih banyak melakukan kegiatan penguasaan efektif di Sipadan dan Ligitan untuk kepentingan Malaysia. Dari segi sejarah juga telah ditunjukkan Inggris telah melakukan pendudukan dan memulai kegiatan-kegiatan di pulau tersebut sejak 1930,[7] meskipun sebenarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan pula dari sejarah yang ada di pulau Sipadan dan Ligitan. Sehingga secara resmi berdasarkan keputusan MI, Malaysia-lah pemilik dari dua pulau tersebut dan Indonesia harus melepas klaim kedaulatannya di wilayah tersebut.
Dampak dari keputusan tersebut adalah berkurangnya daerah kedaulatan NKRI. Selain itu ada imbas lain yang muncul misalnya perebutan wilayah laut di sekitar wilayah laut Sipadan Ligitan. Kepemilikan Malaysia atas Sipadan Ligitan membuat Malaysia dapat menarik Batas laut dari kedua Pulau tersebut. Salah satu contoh adalah Ambalat yang sekitar tahun 2007 lalu menjadi isu yang cukup hangat. Ambalat menjadi perebutan karena belum ada kesepakatan kedua belah pihak terkait masalah laut sekitar Sipada Ligitan. Indonesia merasa Ambalat merupakan Wilayah laut Indonesia, sementara Malaysia juga demikian setelah Sipadan dan Ligitan menjadi titik tolak batas laut wilayah Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA

_____. 2010. Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan. http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Tobing, Bryan. ____.  Indonesia-Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan. http://bryantobing01.blog.com/Indonesia-Malaysia-dalam-perebutan-pulau-Sipadan-dan-Ligitan, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Wikipedia. ____. Sengketa Sipadan dan Ligitan.  http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan, diakses tanggal 16 Mei 2012.


[1] Tobing, Bryan, “Indonesia-Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan”, http://bryantobing01.blog.com/Indonesia-Malaysia-dalam-perebutan-pulau-Sipadan-dan-Ligitan (diakses tanggal 16 Mei 2012)
[2] Wikipedia, “Sengketa Sipadan dan Ligitan”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan, (diakses tanggal 16 Mei 2012)
[3] Ibid.
[4] Tobing, Bryan, Loc. Cit.
[5] Wikipedia, Loc. Cit.
[6] Dikutip dari “Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan”, http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html (diakses tanggal 16 Mei 2012.
[7] Wikipedia, Loc. Cit

Rabu, 16 Mei 2012

JENIS JENIS DELIK


Sumber:
Chazawi, Adami.____.  Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
 
A.      Berdasarkan Sistem  KUHP
1.       Kejahatan (Misdrijven)
Kejahatan merupakan perbuatan yang telah dianggap tercela sebelum ada Undang-Undang yang mengaturnya.
2.       Pelanggaran (Overtredingen)
Pelanggaran merupakan perbuatan yang dianggap tercela setelah dimuat Undang-Undang yang mengatur perbuatan tersebut.
No.
Perbedaan
Kejahatan
Pelanggaran
1.
Dalam hal Percobaan
Dapat dipidana
Tidak dapat dipidana
2.
Dalam hal pembantuan
Dapat dipidana
Tidak dapat dipidana
3.
Delik aduan
Ada
Tidak ada
4.
Masa daluarsa
Panjang
Pendek
5.
Dihapusnya hak negara untuk melakukan penuntutan karena telah dibayar secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan
Tidak berlaku
Berlaku

B.      Berdasarkan Cara Merumuskannya
1.       Tindak Pidana Formil (Formeel Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehjingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu, contohnya pencurian.
2.       Tindak Pidana Materiil (Materieel Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehjingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, contohnya pembunuhan.
C.      Berdasarkan Bentuk Kesalahannya
1.       Tindak Pidana Sengaja (Doleus Delicten)
Adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
2.       Tindak Pidana Tidak Sengaja (Culpose Delicten)
Adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur culpa.
D.      Berdasarkan Macam Perbuatannya
1.       Tindak Pidana Aktif/Positif Atau Tindak Pidana Komisi (Dellicta Commissionis)
Adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
2.       Tindak pidana pasif/negatif  atau tindak pidana omisi (dellicta ommissionis)
Adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan pasif (negatif) atau pembiaran. Terbagi menjadi dua yaitu:
a.      Tindak pidana pasif murni, yaitu tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang semata-mata unsur perbuatannya adalah perbuatan pasif.
b.     Tindak pidana pasif tidak murni, yaitu tindak pidana yang pada dasarnya tindak pidana positif, tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif.
E.       Berdasarkan Saat Dan Jangka Waktu Terjadinya
1.       Tindak Pidana Berlangsung Seketika (Aflopende Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu singkat.
2.       Tindak Pidana Berlangsung Terus (Voortdurende Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya berlangsung dalam waktu lama.
F.       Berdasarkan Sumbernya
1.       Tindak Pidana Umum
Adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil.
2.       Tindak Pidana Khusus
Adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil.
G.     Dilihat Dari Sudut Subjek Hukumnya
1.       Tindak Pidana Communia (Delicta Communia)
Adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang.
2.       Tindak Pidana Propria ( Delicta Propria)
Adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
H.     Berdasarkan Perlu Tidaknya Pengaduan Dalam Hal Penuntutan
1.       Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten)
Yang dimaksudkan disini ialah tindak pidana yang untuk dilakukan penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak.
2.       Tindak Pidana Aduan (Klacht Delicten)
Adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan orang yang berhak mengajukan pengaduan. Terdiri dari 2 macam:
a.       Tindak pidana aduan mutlak, adalah tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan harus ada.
b.      Tinda pidana aduan relatif, adalah tindak pidana yang menjadi aduan jika memenuhi syarat tertentu.
I.        Berdasarkan Berat-Ringannya Pidana Yang Diancamkan
1.       Tindak Pidana Bentuk Pokok (Eenvoudige Delicten)
2.       Tindak Pidana Yang Diperberat (Gequalificeerde Delicten)
3.       Tindak Pidana Yang Diperingan (Gepriviligieerde Delicten)
J.        Berdasarkan Kepentingan Hukum Yang Dilindungi
Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi , maka tindak pidana ini tidak terbatas macamnya. Misalnya tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, tindak pidana terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, dan masih banyak lagi.
K.      Dari Sudut Berapa Kali Perbuatan Untuk Menjadi Suatu Larangan.
1.       Tindak Pidana Tunggal (Enkelvoudige Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja.
2.       Tindak Pidana Berangkai (Samengestelde Delicten)
Adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya, disyaratkan dilakukan secara berulang.