Rabu, 23 Mei 2012

URAIAN SINGKAT KASUS SENGKETA INDONESIA DAN MALAYSIA MEMPEREBUTKAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN



Kasus Sipadan Ligitan merupakan kasus yang sangat terkenal bagi rakyat Indonesia. Kasus ini merupakan kasus panjang yang akhirnya membuat Indonesia kehilangan dua pulau yaitu Sipadan dan Ligitan. Kasus ini yang membuat kemudian muncul kasus baru seperti kasus ambalat. Kasus ini memang sangat sensitif mengingat kasus ini menyangkut wilayah kedaulatan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan memiliki daya tarik di bidang pariwisata.
Kasus ini berakar dari reaksi Malaysia pada tahun 1968 terhadap perjanjian kerjasama Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) pada tahun 1966. Reaksi tersebut berupa kerja sama Malaysia dengan Sabah Taiseki Oil Company. Reaksi tersebut merupakan tanggapan terhadap Eksplorasi Laut yang dilakukan di pulau Sipadan dan Ligitan.[1] Akhirnya Malaysia melakuan klaim terhadap Sipadan Ligitan pada 1969 sebagai wilayah kedaulatannya yang mendapat penolakan oleh Indonesia.
Setelah kasus tersebut bergulir, dilakukan upaya-upaya penyelesaian oleh kedua belah pihak. Upaya yang dilakukan menekankan pada upaya “duduk bersama” atau menghindari konflik militer. Sebagai langkah awal penyelesaian kasus ini, kedua pulau tersebut dinyatakan berstatus quo.
Ada perbedaan persepsi diantara kedua pihak terkait dengan status quo tersebut. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.[2] Hal ini tentunya bukan menyelesaikan perkara, malah meruncingkan perkara tersebut.
Penyelesaian kasus dicoba dengan menghindari meja pengadilan ICJ. Pada tahun 1976 melalui KTT ASEAN pertama di Bali, negara-negara mencoba membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN.  Akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan.[3]
Pada tahun 1989, kasus ini kembali diangkat oleh Presiden Soeharto dan PM Mahatir Madjid. Kasus ini makin panas setelah diketahui Sipadan Ligitan dimasukkan dalam wilayah Indonesia pada 1991 dan tanpa sepengetahuan Indonesia, terjadi banyak pembangunan di pulau tersebut oleh Malaysia.[4] Pada tahun 1992, keduanya sepakat menempuh upaya bilateral. Hasil pertemuan tersebut menyepakati perlunya dibentuk komisi bersama dan kelompok kerja bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Seiring jalannya kerja JC dan JWG tersebut, tidak muncul jalan keluar yang mampu menyelesaikan masalah. Kebuntuan terjadi dikarenakan kedua pihak yang saling berkeras dengan kepentingan masing-masing.
Masing-masing pemerintah menunjuk Wakil Khusus untuk menyelesaian kebuntuan JC dan JWG yaitu Indonesia oleh Mensesneg Moerdiono dan Malaysia oleh Wakil PM Datuk Anwar Ibrahim. Kesepakatan tidak muncul dari empat kali pertemuan antara keduanya, yang kemudian muncul rekomendasi untuk penyelesaian melalui ICJ. Akhirnya pada 7 Oktober 1996 dalam kunjungan ke Malaysia, Presiden Soeharto menyetujui rekomendasi tersebut. Kemudian dibuatkan kesepakatan Final and Binding pada 31 Mei 1997 yang kemudian diratifikasi oleh masing-masing pihak.[5]
Singkat cerita pada 1998 dimulai upaya penyelesaian melalui ICJ.  Akhirnya pada  Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
“ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld.”[6]
Jadi pertimbangan MI sangat jelas bahwa Malaysia lebih banyak melakukan kegiatan penguasaan efektif di Sipadan dan Ligitan untuk kepentingan Malaysia. Dari segi sejarah juga telah ditunjukkan Inggris telah melakukan pendudukan dan memulai kegiatan-kegiatan di pulau tersebut sejak 1930,[7] meskipun sebenarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan pula dari sejarah yang ada di pulau Sipadan dan Ligitan. Sehingga secara resmi berdasarkan keputusan MI, Malaysia-lah pemilik dari dua pulau tersebut dan Indonesia harus melepas klaim kedaulatannya di wilayah tersebut.
Dampak dari keputusan tersebut adalah berkurangnya daerah kedaulatan NKRI. Selain itu ada imbas lain yang muncul misalnya perebutan wilayah laut di sekitar wilayah laut Sipadan Ligitan. Kepemilikan Malaysia atas Sipadan Ligitan membuat Malaysia dapat menarik Batas laut dari kedua Pulau tersebut. Salah satu contoh adalah Ambalat yang sekitar tahun 2007 lalu menjadi isu yang cukup hangat. Ambalat menjadi perebutan karena belum ada kesepakatan kedua belah pihak terkait masalah laut sekitar Sipada Ligitan. Indonesia merasa Ambalat merupakan Wilayah laut Indonesia, sementara Malaysia juga demikian setelah Sipadan dan Ligitan menjadi titik tolak batas laut wilayah Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA

_____. 2010. Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan. http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Tobing, Bryan. ____.  Indonesia-Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan. http://bryantobing01.blog.com/Indonesia-Malaysia-dalam-perebutan-pulau-Sipadan-dan-Ligitan, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Wikipedia. ____. Sengketa Sipadan dan Ligitan.  http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan, diakses tanggal 16 Mei 2012.


[1] Tobing, Bryan, “Indonesia-Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan”, http://bryantobing01.blog.com/Indonesia-Malaysia-dalam-perebutan-pulau-Sipadan-dan-Ligitan (diakses tanggal 16 Mei 2012)
[2] Wikipedia, “Sengketa Sipadan dan Ligitan”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan, (diakses tanggal 16 Mei 2012)
[3] Ibid.
[4] Tobing, Bryan, Loc. Cit.
[5] Wikipedia, Loc. Cit.
[6] Dikutip dari “Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan”, http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html (diakses tanggal 16 Mei 2012.
[7] Wikipedia, Loc. Cit

Tidak ada komentar: