Kasus Sipadan Ligitan
merupakan kasus yang sangat terkenal bagi rakyat Indonesia. Kasus ini merupakan
kasus panjang yang akhirnya membuat Indonesia kehilangan dua pulau yaitu Sipadan
dan Ligitan. Kasus ini yang membuat kemudian muncul kasus baru seperti kasus ambalat.
Kasus ini memang sangat sensitif mengingat kasus ini menyangkut wilayah
kedaulatan yang sangat kaya akan sumber daya alam dan memiliki daya tarik di
bidang pariwisata.
Kasus ini berakar dari
reaksi Malaysia pada tahun 1968 terhadap perjanjian kerjasama Indonesia dengan
Japex (Japan Exploration Company Limited) pada tahun 1966. Reaksi tersebut
berupa kerja sama Malaysia dengan Sabah Taiseki Oil Company. Reaksi tersebut
merupakan tanggapan terhadap Eksplorasi Laut yang dilakukan di pulau Sipadan
dan Ligitan.[1]
Akhirnya Malaysia melakuan klaim terhadap Sipadan Ligitan pada 1969 sebagai
wilayah kedaulatannya yang mendapat penolakan oleh Indonesia.
Setelah kasus tersebut bergulir,
dilakukan upaya-upaya penyelesaian oleh kedua belah pihak. Upaya yang dilakukan
menekankan pada upaya “duduk bersama” atau menghindari konflik militer. Sebagai
langkah awal penyelesaian kasus ini, kedua pulau tersebut dinyatakan berstatus quo.
Ada perbedaan persepsi
diantara kedua pihak terkait dengan status quo tersebut. Pihak Malaysia
membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia
memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan
selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti
status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai.[2] Hal ini tentunya bukan
menyelesaikan perkara, malah meruncingkan perkara tersebut.
Penyelesaian kasus dicoba
dengan menghindari meja pengadilan ICJ. Pada tahun 1976 melalui KTT ASEAN
pertama di Bali, negara-negara mencoba membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN. Akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan
karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh,
sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di
Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan
Taiwan.[3]
Pada tahun 1989, kasus ini
kembali diangkat oleh Presiden Soeharto dan PM Mahatir Madjid. Kasus ini makin
panas setelah diketahui Sipadan Ligitan dimasukkan dalam wilayah Indonesia pada
1991 dan tanpa sepengetahuan Indonesia, terjadi banyak pembangunan di pulau
tersebut oleh Malaysia.[4]
Pada tahun 1992, keduanya sepakat menempuh upaya bilateral. Hasil pertemuan
tersebut menyepakati perlunya dibentuk komisi bersama dan kelompok kerja
bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Seiring jalannya
kerja JC dan JWG tersebut, tidak muncul jalan keluar yang mampu menyelesaikan
masalah. Kebuntuan terjadi dikarenakan kedua pihak yang saling berkeras dengan
kepentingan masing-masing.
Masing-masing pemerintah
menunjuk Wakil Khusus untuk menyelesaian kebuntuan JC dan JWG yaitu Indonesia
oleh Mensesneg Moerdiono dan Malaysia oleh Wakil PM Datuk Anwar Ibrahim.
Kesepakatan tidak muncul dari empat kali pertemuan antara keduanya, yang
kemudian muncul rekomendasi untuk penyelesaian melalui ICJ. Akhirnya pada 7
Oktober 1996 dalam kunjungan ke Malaysia, Presiden Soeharto menyetujui
rekomendasi tersebut. Kemudian dibuatkan kesepakatan Final and Binding pada 31
Mei 1997 yang kemudian diratifikasi oleh masing-masing pihak.[5]
Singkat cerita pada 1998
dimulai upaya penyelesaian melalui ICJ. Akhirnya pada
Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus
sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia.
Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim
itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
“ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna
mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan
(menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan
menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation,
maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional
memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate
of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga
menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of
Sulu … cannot be upheld.”[6]
Jadi pertimbangan MI sangat jelas bahwa Malaysia
lebih banyak melakukan kegiatan penguasaan efektif di Sipadan dan Ligitan untuk
kepentingan Malaysia. Dari segi sejarah juga telah ditunjukkan Inggris telah
melakukan pendudukan dan memulai kegiatan-kegiatan di pulau tersebut sejak
1930,[7] meskipun sebenarnya Indonesia tidak dapat
dilepaskan pula dari sejarah yang ada di pulau Sipadan dan Ligitan. Sehingga
secara resmi berdasarkan keputusan MI, Malaysia-lah pemilik dari dua pulau
tersebut dan Indonesia harus melepas klaim kedaulatannya di wilayah tersebut.
Dampak dari keputusan tersebut adalah berkurangnya
daerah kedaulatan NKRI. Selain itu ada imbas lain yang muncul misalnya
perebutan wilayah laut di sekitar wilayah laut Sipadan Ligitan. Kepemilikan Malaysia
atas Sipadan Ligitan membuat Malaysia dapat menarik Batas laut dari kedua Pulau
tersebut. Salah satu contoh adalah Ambalat yang sekitar tahun 2007 lalu menjadi
isu yang cukup hangat. Ambalat menjadi perebutan karena belum ada kesepakatan
kedua belah pihak terkait masalah laut sekitar Sipada Ligitan. Indonesia merasa
Ambalat merupakan Wilayah laut Indonesia, sementara Malaysia juga demikian
setelah Sipadan dan Ligitan menjadi titik tolak batas laut wilayah Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
_____. 2010. Tinjauan
Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan. http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Tobing, Bryan. ____.
Indonesia-Malaysia dalam Perebutan
Pulau Sipadan dan Ligitan. http://bryantobing01.blog.com/Indonesia-Malaysia-dalam-perebutan-pulau-Sipadan-dan-Ligitan, diakses tanggal 16 Mei 2012.
Wikipedia. ____. Sengketa Sipadan dan Ligitan. http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan, diakses tanggal 16 Mei 2012.
[1]
Tobing, Bryan, “Indonesia-Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan”, http://bryantobing01.blog.com/Indonesia-Malaysia-dalam-perebutan-pulau-Sipadan-dan-Ligitan
(diakses tanggal 16 Mei 2012)
[2]
Wikipedia, “Sengketa Sipadan dan Ligitan”, http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan,
(diakses tanggal 16 Mei 2012)
[3] Ibid.
[4]
Tobing, Bryan, Loc. Cit.
[5]
Wikipedia, Loc. Cit.
[6]
Dikutip dari “Tinjauan Hukum Internasional Kasus Sipadan Ligitan”, http://littlegirlinbigdream.blogspot.com/2010/07/tinjauan-hukum-internasional-kasus.html
(diakses tanggal 16 Mei 2012.
[7]
Wikipedia, Loc. Cit