Rabu, 14 Maret 2012

SEKILAS TENTANG HUKUM WARIS ISLAM

saya menulis tulisan ini setelah saya membaca betapa pentingnya mempelajari ilmu faraid... saya akan posting keutamaan ilmu faraid pada posting selanjutnya... Dan InsyaAllah beserta technical perhitungannya...
mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam
penulisan ini...

DAFTAR PUSTAKA

Ahira, Anne. ____. Fungsi dan Ketentuan. ttp://www.anneahira.com/waris-islam.ht, diakses tanggal 11 Maret 2012.

Cahyo. 2012. Ashabul furudh dan Ashabah. http://blogcahyo.blogspot.com/2010/03/ashabul-furudh-ashabah.html, diakses tanggal 11 Maret 2012.

Annida, Madani. 2011. Ashabul Furudh dan Bagian-Bagiannya dan Ashabah. http://madaniannida-kumpulanmakalahpai.blogspot.com/2011/02/ashabul-furudh-dan-bagian-bagiannya.html, diakses tanggal 11 Maret 2012.

____. 2011. Hukum Kewarisan Islam. http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/30/hukum-kewarisan-islam, diakses tanggal 11 Maret 2012

Admin. 2011. Faraidh, Ilmu Pertama yang Diangkat, http://an-nuur.org/2011/09/faraidh-ilmu-pertama-yang-diangkat, diakses tanggal 11 Maret 2012.

Gozali, Ibnu. 2008. Pembagian Warisan Menurut Islam. http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam, diakses tanggal 11 Maret 2012.

Muhammad Ali Ash-Shabuni. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Penerbit Gema Insani Press.

A. DASAR HUKUM WARIS

Dalil yang menjelaskan tentang perintah da petunjuk waris diatur dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Disana diterangkan secara jelas oleh Allah Subhanahu Wata’ala tentang pembagian waris kepada ahli waris. Ilmu waris merupakan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu Wata’ala yang secara rinci tertuang dalam Al-Quran sehingga tidak perlu banyak penafsiran lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa ilmu faraid (ilmu hukum waris) menjadi ilmu yang sangat penting karena dijelaskan secar rinci dalam Al-Quran, berbeda dengan ilmu lain yang hanya dibahas secara umum dalam Al-Qur’an. Berikut terjemahan dari Surah An-nisa yang membahas tentang pembagian waris tersebut.

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)

Selain dalam Al-Quran, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga menyatakan betapa pentingnya ilmu faraid (ilmu hukum waris) dalam Islam. Dijelaskan bahwa ilmu ini merupakan ilmu yang sangat mudah untuk dilupakan dan diremehkan. Selain itu ilmu ini adalah salah satu ilmu yang paling utama (ilmu primer) dan yang paling pertama akan dicabut di muka bumi, sehingga sangat penting untuk dipelajari. Hadist-hadist tersebut antara lain:

1. Abdullah bin Amr bin Al-Ash –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Ibnu Majah)

2. Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)

3. Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan Ad-Darquthni)

4. Dalam riwayat lain disebutkan, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku.” (HR Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)

Terdapat pula riwayat dari Sahabat dan para Ulama tentang pentingnya ilmu faraid.

Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- telah berkata, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ia sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian.” Kemudian Amirul Mukminin berkata lagi, “Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraid, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.” Kemudian Amirul Mukminin berkata kembali, “Pelajarilah ilmu faraid, ilmu nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur`an.”

Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkomentar tentang ayat Al-Qur`an yang berbunyi, “…Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73), menurut beliau makna ayat di atas adalah jika kita tidak melaksanakan pembagian harta warits sesuai yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.

Abu Musa Al-Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur`an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraid, adalah seperti mantel yang tidak bertudung kepala.”

Al-Futuhiy dalam syarahnya atas buku ‘Ala Muntaha Al-Iradah, dan Al-Butuhiy dalam syarahnya atas buku Al-Iqna` : “..Mempelajari satu masalah dalam ilmu faraidh mempunyai ratusan kebajikan, sedangkan selainnya hanya sepuluh kebajikan…”

Oleh karea itu ilmu Faraid menjadi sangat penting untuk dipelajari oleh umat islam.

B. PENGERTIAN WARIS DAN ILMU FARAID

Waris berasal dari bahasa arab al miirats yang berarti “berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain”, atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Makna dari waris tersebut bukan hanya menyangkut barang tetapi juga yang bukan barang misalnya ilmu. Hal ini sebagaimana terlihat salah satunya dalam hadits yang berbunyi “Ulama adalah ahli waris para nabi”. Sementara menurut istilah yang diterangkan oleh para ulama fiqih, al-miirats berarti berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

Ilmu yang mempelajari tentang waris dikenal dengan nama ilmu faraid. Faraid berasal dari kata dalam bahasa Arab Faraidh yang merupakan bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna sesuatu yang diwajibkan, atau pembagian yang telah ditentukan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Dari segi istilah, ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan dan tata cara pembagian harta warisan untuk setiap ahli warits berdasarkan syariat Islam.

C. UNSUR WARIS, DAN PENGHALANG MENJADI AHLI WARIS

Ada tiga unsur dalam melakukan waris yaitu:

1. Pewaris

Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu untuk keluarga yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari pewaris tidak berhak menentukan siapa yang berhak mendapat warisan, berapa banyak, dan bagaimana cara mengalihkannya. Sebab, semuanya telah diatur oleh Allah dan secara pasti yang wajib dilaksanakan.

2. Harta warisan atau harta peninggalan

Harta warisan atau harta peninggalan adalah Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang sepenuhnya milik pewaris. Sedangkan benda yang sepenuhnya bukan milik pewaris tidak dapat tidak dapat dialihkan menjadi milik ahli waris. Mengenai hutang ahli waris tidak berhak membayar hutang-hutang pewaris dengan harta pribadinya jika hutang- hutang melebihi harta yang diwariskan, namun orang muslim sering membayar hutang-hutang pewaris hingga semuanya sah.

3. Ahli waris

Ahli waris merupakan orang yang berhak mendapat harta peninggalan dari pewaris atau orang yang sudah meninggal. Disamping karena hubungan darah dan perkawinan ada beberapa syarat agar seseorang dapat menjadi ahli waris yaitu:

a) Masih hidup saat pewaris meninggal

b) Tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris

c) Tidak tertutup ahli waris yang utama

poin b) menunjukkan bahwa ada sesuatu hal yang dapat menghalangi atau menggugurkan hak seseorang untuk menjadi ahli waris. Ada 4 yang dapat menggugurkan seseorang untuk memperoleh hak waris yaitu:

1. Budak.

Semua budak tidak dapat memperoleh waris meskipun dari saudara sendiri. Hal itu disebabkan segala sesuatu yang dimiliki oleh budak adalah menjadi milik tuannya, oleh karena itu budak tidak mendapat warisan karena tidak mempunyai hak milik

2. Pembunuhan

Seseorang ahli waris tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia membunuh si pewaris. Ini sesua dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berbunyi "Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

3. Berbeda Agama

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berbunyi "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

4. Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub

Mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.

Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.

Contoh Pertama

Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah

Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.

Contoh Kedua

Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris. ()

D. ‘ASH-HABUL FURUDH

‘Ash-habul Furudh adalah golongan utama penerima waris. Golongan ini adalah ahli waris yang diterangkan secara jelas dan tegas beserta bagian-bagiannya dalam Al-Quran. Golongan ini dapat dibagi berdasarkan jatah pembagiannya yang terdiri dari ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 bagian.

1. ‘Ash-habul Furudh yang mendapat setengah bagian

a. Suami apabila pewaris tidak mempunyai anak

b. Anak perempuan apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan tersebut merupakan anak tunggal

c. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki, apabila ia anak tunggal, dan tidak ada anak dari pewaris (sudah meninggal)

d. Saudara kandung perempuan, apabila ia merupakan saudara tunggal dan pewaris tidak ada keturunan dan ayah ke atas (sudah meningal).

e. Saudara perempuan seayah apabila ia merupakan anak tunggal dan pewaris tidak mempunyai (sudah meninggal) keturunan, ayah keatas dan saudara kandung.

2. ‘Ash-habul Furudh yang mendapatkan seperempat bagian

a. Suami, apabila pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-lakinya

b. Istri, apabila pewaris tidak mempunyai anak baik dari istri tersebut maupun dari istri lainnya.

3. ‘Ash-habul Furudh yang mendapatkan seperdelapan bagian

Yaitu Istri, apabila suami mempunyai anak cucu.

4. Ash-habul Furudh yang mendapatkan dua pertiga bagian.

a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih, jika tidak punya saudara laki-laki.

b. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih. Apabila tidak punya saudara laki-laki, dan si pewaris tidak mempunyai anak kandung (telah meninggal)

c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, apabila tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai ‘asabah, dan pewaris tidak punya keturunan dan tidak punya ayah ke atas (telah meninggal)

d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. Apabila tidak mempunyai saudara laki-laki, dan pewaris tidak mempunyai keturunan, ayah ke atas, dan saudara kandung.

5. Ash-habul Furudh yang mendapatkan sepertiga bagian

a. Ibu

b. Dua orang saudara seibu apabila pewaris tidak punya keturunan dan tidak mempunyai saudara sekandung, seayah, maupun seibu.

6. Ash-habul Furudh yang mendapatkan seperenam bagian

a. Ayah, jika pewaris mempunyai keturunan.

b. Kakek dari ayah, bila pewaris mempunyai anak ataupun cucu laki-laki dari keturunan anak tetapi tidak mempunyai ayah (meninggal)

c. Bapak, bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki

d. Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.

e. Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih) bila bersama seorang anak perempuan. Bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan tidak mendapat harta warisan.

f. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih), bila beserta saudara perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.

g. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, bila ia mewarisi sendirian

E. ‘ASHABAH

‘Ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sedangkan pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.

'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.

Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
1. 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),
2. 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
3. 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).

'Ashabah bin nafs

'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:

1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.

2. Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.

3. Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.

4. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.

Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.

Telah dielaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.

F. HIKMAH HUKUM WARIS

1. Mencegah terjadinya konflik akibat perebutan harta warisan

2. Mencapai rasa keadilan bagi para penerima waris

Tidak ada komentar: