Mohon maaf bila jelek banyak kesalahan dimana-mana.
DAFTAR PUSTAKA
Alma Manuputy, dkk, 2011. Hukum Laut (Pola Ilmiah Pokok) Semester Akhir.
http://www.unhas.ac.id/lkpp/hukum/Bahan%20Ajar%20PIP.pdf, diakses tanggal 1 Maret 2012.
http://www.unhas.ac.id/lkpp/hukum/Bahan%20Ajar%20PIP.pdf, diakses tanggal 1 Maret 2012.
Andarisma,
Wendy. 2010. Konflik Laut Cina Selatan. http://irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964,
diakses tanggal 21 Maret 2012.
Anonim. 2010. Konflik Laut CIna Selatan. http://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91,
diakses tanggal 21 Maret 2012.
E.S., Mukhammad.
2011. DIplomasi Sebagai Upaya
Penyelesaian Konflik di Kepulauan Spratly.
http://esaputraangkasa.blogspot.com/2011/07/diplomasi-sebagai-upaya-penyelesaian.html , diakses tanggal 21 Maret 2012.
Pyonk.
2011. Konflik Kepulauan Spratly. http://pyonk2pyonk.blogspot.com/2011/12/konflik-kepulauan-spratly.html,
diakses tanggal 21 Maret 2012.
R.M.
Jerry Indrawan. 2009. Konflik Kepulauan
Spratly. diunduh dari http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html,
(diakses tanggal 21 Maret 2012).
Sandy
Nur Ikfal Raharjo. 2011. Sengketa
Kepulauan Spratly: Tantangan bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011. http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/472-sengketa-kepulauan-spratly-tantangan-bagi-indonesia-sebagai-ketua-asean-2011, diakses tanggal
21 Maret 2012.
Wikipedia. 2012. Spratly islands dispute. http://en.wikipedia.org/wiki/Spratly_Islands_dispute, diakses tanggal 21 Maret 2012.
Yulia
Permatasari. 2012. Skripsi: Aspek Politik dan Keamanan dalam Konflik di Laut Cina Selatan.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1204/SKRIPSI%20BAB%20I%20-%20V.docx?sequence=2,
diakses tanggal 21 Maret 2012.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Wilayah negara merupakan sebuah
kata yang sangat sensitif terdengar dalam wilayah hukum Internasional. Wilayah
negara merupakan sesuatu yang paling urgen dan sangat dipertahankan oleh semua
negara bahkan hingga harus mengorbankan nyawa. Dapat dikatakan bahwa diantara
semua unsur negara, teritorial merupakan harga diri dari sebuah negara sehingga
harus dipertahankan meskipun harus dengan berperang.[1]
Ini pula yang kemudian banyak
menimbulkan permasalahan di kalangan Internasional. Sebut saja kasus Indonesia
Malaysia mengenai sengketa puau sipadan dan ligitan yang kemudian dibawa ke
Mahkamah Internasional. Hal ini membuat hubungan Indonesia dan Malaysia sebagai
negara tetangga makin menegang, walaupun setelah itu Malaysia dinyatakan
sebagai pemenang sengketa tersebut. Sebenarnya sudah sejak Indonesia merdeka
perseteruan ini muncul, dan hanya disebabkan oleh wilayah negara. Ini merupakan
salah satu bukti bahwa wilayah kedaulatan menjadi salah satu unsur yang sangat
dipertahankan oleh negara.
Ada pula kasus yang cukup rumit
yang terjadi belakangan ini mengenai wilayah negara yaitu sengketa kepulauan Spratly.
Lain halnya dengan kasus diatas, sengketa kepulauan Spratly ini mempunyai
cerita panjang yang melatarbelakangi sengketa tersebut. Sengketa ini melibatkan
banyak negara sehingga penyelesaiannya yang sangat rumit dan berlarut-larut.
Sengketa ini juga mempunyai latar belakang yang cukup rumit sehingga belum
terjadi kesepakatan diantara negara-negara bersengketa.
Rumitnya medan wilayah
persengketaan menambah makin sulitnya penyelesaian diantara semua pihak.
Kepulauan Spratly berada diantara beberapa negara yaitu, Indonesia, Malaysia,
Vietnam, Brunei Darussalam, Cina, Taiwan, dan Filipina. Kepulauan Spratly pada
awalnya tidak berpenghuni. Hal ini disebabkan kebanyakan pulau ini berupa
gugusan karang. Namun klaim terhadap kepulauan Spratly dilancarkan karena
kepulauan Spratly mempunyai banyak kelebihan misalnya kekayaan kandungan minyak
dan letaknya yang strategis.
Kasus ini memang sangat menarik
untuk dibahas. Selain untuk menambah pengetahuan, juga sekaligus dapat
digunakan sebagai bahan pembelajaran terutama ilmu yang berkaitan dengan hukum
internasional seperti hukum laut. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk menguraikan
bgaimana sebenarnya sengketa yang terjadi di wilayah kepulauan Spratly.
B.
Perumusan
Masalah
1. Apa
yang melatarbelakangi sengketa kepulauan Spratly?
2. Siapa-siapa
pihak yang turut serta dalam sengketa kepulauan Spratly?
3. Bagaiman
upaya yang perlu dilakukan dan sudah dilakukan oleh pihak-pihak bersengketa?
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Sengketa Kepulauan Spratly
Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di
Laut Cina Selatan. Kepulauan ini berbatasan langsung dengan Negara Cina,
Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Letak
Geografis kepulauan Spratly yang digambarkan oleh Dieter Heinzig adalah 4o
LU – 11o31’ LU dan 109o BT -117o BT.[2]
Kepulauan Spratly memiliki luas diperkirakan 244.700
km2 yang terdiri dari sekitar 350 Pulau.[3] Kepulauan
Spratly kebanyakan hanya merupakan gugusan karang. Wilayah ini merupakan batas
langsung negara Cina dan Negara-negara ASEAN. Kepulauan Spratly terletak di
sebelah Selatan Cina dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah Barat
Filipina, sebelah utara Indonesia, sebelah utara Malaysia dan Brunei
Darussalam.
Kepulauan Spratly sebenarnya bukan merupakan yang
layak huni, akan tetapi pulau ini memiliki banyak potensi sumber daya alam dan
geografis yang sangat strategis. Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa
negara bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Selain itu
kawasan ini merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu
mendukung perekonomian negara.
Kepulauan Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas
bumi yang cukup berlimpah. Penemuan minyak dan gas bumi pertama di kepulauan
ini adalah pada tahun 1968.[4]
Menurut data The Geology and Mineral
Resources Ministry of the People's Republic of China (RRC) memperkirakan
bahwa kandungan minyak yang terdapat di kepulauan Spratly adalah sekitar 17,7 miliar ton (1,60 × 10 10 kg).[5]
Fakta tersebut menempatkan Kepulauan Spratly sebagai tempat tidur cadangan
minyak terbesar keempat di dunia.[6]
Letak strategis lintas laut kapal
dan kekayaan sumber daya alam lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga
sangat mempengaruhi sengketa dan konfilk diantara negara-negara bersengketa.
Kapal-kapal penangkap ikan yang menangkap ikan disana menjadi salah satu
penyebab konflik akibat perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara
yang mengklaim wilayah tersebut.
Setidaknya ada 6 negara yang
mengklaim wilayah kepulauan Spratly yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina,
Malaysia dan Brunei Darussalam. Kelima negara diatas (enam negara tersebut
kecuali Brunei Darussalam) mempunyai klaim dan penamaan terhadap pulau-pulau di
kepulauan Spratly, sementara Brunei Darussalam hanya mengklaim wilayah laut di
Kepulauan Spratly sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif negara tersebut.
Kepulauan Spratly memang
mempunyai cerita panjang dalam kaitannya dengan sengketa wilayah negara di atas
(dalam hal ini adalah ZEE) dan historis serta penamaan pulau-pulau dan nama
laut cina selatan itu sendiri. Mengenai
penamaan kepulauan Spratly, Filipina menyebutnya Kalayaan (tanah kebebasan),
Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya Nansha Qundao.
Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik
negara yang memberikan nama.[7]
Proses klaim setidaknya telah
dilancarkan sejak tahun 1947. Ialah Pemerintah Republik Rakyat Cina yang
pertama kali mengklaim Laut Cina Selatan dengan membuat peta resmi yang tidak
hanya mengklaim pulau-pulau, tetapi juga memberi tanda sebelas garis
putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan.[8]
Meskipun demikian belum ada tanda-tanda pendudukan yang dilakukan oleh Cina di
wilayah tersebut pada saat itu. Negara yang sejak dulu melakukan pendudukan
antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Taiwan.[9]
Klaim kemudian dilancarkan juga
oleh Vietnam yang langsung melakukan pendudukan di kepulauan Paracel dan
kepulauan Spratly setelah perang dunia kedua berakhir. Kepulauan Paracel juga
merupakan salah satu kepulauan yang banyak diklaim selain kepulauan Spratly.
Hal yang sama dengan Vietnam juga dilakukan oleh Taiwan setelah perang dunia
kedua.
Filipina juga melakukan klaim
dengan menduduki kepulauan Spratly pada tahun 1971. Filipina beralasan bahwa kepulauan
tersebut merupakan wilayah bebas. Filipina juga menunjuk perjanjian
San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya
terhadap kepulauan Spartly.[10] Hal tersebut tak lepas kaitannya dengan asas laut tertutup
yang menyatakan bahwa bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara
saja pada periode tertentu.[11]
Kemudian klaim dilanjutkan oleh
Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia melakukan klaim terhadap beberapa
pulau di Kepulauan Spratly yang kemudian diberi nama seperti Terumbu Layang.
Pulau tersebut termasuk dalam wilayah landas kontinen Malaysia atas dasar
pemetaan wilayah negara yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979.[12]
Tidak mau kalah, Brunei Darussalam juga melakukan klaim namun bukan terhadap
gugusan yakni hanya wilayah laut di kepulauan Spratly. Hal itu dilakukan
setelah Brunei merdeka dari jajahan Inggris pada tahun 1984.
Konflik akibat sengketa ini cukup
banyak terjadi. Dimulai pada konflik bersenjata 1794 antara Cina dan Vietnam
yang terjadi kedua kalinya pada 1988. Selain itu pernah terjadi tembak menembak
kapal perang antara Cina dan Filipina dekat pulau Campones tahun 1996.[13]
Konflik ini diakibatkan saling klaim wilayah yang hingga sekarang belum jelas
pemetaannya sehingga apabila terjadi aktivitas perekonomian di wilayah sengketa
maka akan sangat mudah memicu konflik.
Situasi yang dapat berujung
konflik kembali terjadi pada tahun 2011. Pada waktu itu pasukan militer Cina
gencar melakukan pendudukan dan latihan militer di sekitar pulau sengketa.
Kemudian Vietnam melancangkan protes kepada Cina atas tindakan tersebut. Namun
situasi makin memanas setelah kapal minyak PetroVietnam dirusak oleh militer
Cina pada Mei dan Juni 2011. Vietnam pun melakukan pembalasan dengan mengadakan
kegiatan militer rutin tahunan di sekitar Laut Cina Selatan pada Juni 2011.[14]
Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan
untuk menyelesaikan diantaranya Declaration On the Conduct of Parties in the South China Sea
(DOC) pada 4 November 2002. Namun upaya tersebut tidak
diindahkan lagi oleh para pihak bersengketa. Ini akibat prinsip yang keras dan
perbedaan pemahaman dalam upaya menyelesaikan sengketa ini, Serangan yang
dilancarkan pihak tersebut diatas merupakan salah satu wujud tidak dipatuhinya
DOC tersebut.
Tak hanya Vietnam, Filipina pun kian meradang dengan
tindakan yang dilakukan oleh Cina. Kapal pengangkut minyak Filipina ditangkap
oleh militer Cina di sekitar perairan kepulauan Spratly yang berangkat dari
provinsi Guangdong Selatan menuju singapura. Rute yang dilalui memang berdekatan
dengan wilayah-wilayah yang diklaim oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan
Brunei. Filipina pun mengajukan protes ke Perserikatan Bangsa-Bansa perihal
masalah ini.[15]
Dari penjelasan panjang diatas sudah dapat
disimpulkan bahwa kepulauan Spratly menjadi rebutan klaim oleh negara-negara
bersengketa tersebut karena potensi ekonomi, politis dan geostrategis. Hal inilah
yang kemudian menimbulkan konflik panjang yang hingga sekarang. Oleh karena itu
sangat diperlukan upaya yang tepat untuk menangani kasus ini untuk
meminimalisir konflik yang terjadi terutama sesama anggota ASEAN.
B.
Pihak-pihak
yang Bersengketa dan Klaim yang dilakukan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Negara yang
termasuk secara langsung dalam sengketa ini adalah Cina, Taiwan, Vietnam,
Filipina, Malaysia dan Brunei. Sebagaimana terlihat pada peta (buka gambar 2.1
dan 2.2 dalam lampiran), negara-negara diatas kecuali Brunei Darussalam
mempunyai klaim pulau masing-masing. Pulau-pulau tersebut diklaim
dilatarbelakangi baik karena sejarah maupun karena konsep landas kontinen dan
Zona Ekonomi Eksklusif. Klaim dan negara pengklaim tersebut secara umum dapat
dilihat dalam tabel 2.1 (terlampir) dan akan diuraikan secara lebih luas
sebagai berikut.
1. Cina
Klaim
yang dilakukan Cina adalah atas dasar sejarah. Memang secara geografis jarak
antara RRC dengan kepulauan Spratly sangat jauh dan tidak terjangkau dengan menggunakan
konsep landas kontinen dan ZEE. Tetapi Cina melakukan klaim terhadap gugusan
pulau di kepulauan Spratly atas dasar sejarah.
Sebelum
zaman modern, konon telah ada jejak kehidupan dinasti Cina di kepulauan Spratly.
Menurut Cina sejak 2000 tahun yang lalu kepulauan Spratly sudah menjadi jalur
perdagangan Cina. Selain itu, argumen itu didukung dengan fakta-fakta sejarah
diantaranya penemuan bukti-bukti arkeologis Cina dinasti Han (206-220 SM)[16]
Dilihat
dari latar belakang sejarah konon pada abad ke-19 klaim sudah dilakukan oleh
Cina tepatnya pada tahun 1876. Namun terjadi tumpang tindih klaim saat terjadi
perang dunia I antara Perancis, Inggris dan Jepang yang melakukan ekspansi ke
Laut Cina Seltan.[17]
Klaim yang lebih kuat adalah penerbitan peta seperti dijelaskan sebelumnya
dengan memasukkan hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan ke dalam peta
wilayah sekitar pertengahan abad 20.
Dalam
catatan, baru sekitar tahun 1988 Cina melakukan Ekspansi ke kepulauan Spratly.
Ekspansi dilakukan dengan mengadakan instalasi militer secara besar-besaran
pada kepulauan Spratly. Pada tahun ini pula tercatat konflik Cina-Vietnam
dimana pada saat itu terjadi pendudukan di kepulauan Spratly dan Paracel dengan
mengusir paksa Vietnam. Hal ini semakin diperkuat dengan upaya de jure yaitu
dengan menerbitkan UU tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone yang
memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya.[18]
Hal
tersebut terus gencar dilakukan Cina bahkan hingga sekarang. Berbagai upaya
yang dicoba oleh cina diantaranya adalah perjanjian bilateral, dan perjanjian
multilateral.
2. Taiwan
Taiwan
juga tak luput dalam melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly. Klaim
dibuktikan dengan pendudukan pada tahun 1956 di kepulauan Spratly. Sebelumnya
pada tahun 1947 Taiwan telah menerbitkan peta wilayah yang memasukkan Kepulauan
Spratly di dalam wilayahnya. Salah satu klaimnya adalah pulau terbesar di
kepulauan tersebut yaitu pulau Itu ABA alias Taiping Island.
3. Vietnam
Vietnam
melakukan klaim juga atas dasar historis. Vietnam menyatakan pendudukan
terhadap pulau Spratly dan Paracel sudah dimulai pada abad 17. Selain itu ada
fakta sejarah yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam wilayah
distrik Binh Son Vietnam. Vietnam Selatan menegaskan haknya atas kepulauan Spratly
dalam konferensi San Francisco. Kemudian Vietnam mulai menyatakan pemilikannya
atas Kepulauan Spratly pada tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13
pulau di Kepulauan tersebut. [19]
Konflik-konflik
yang terjadi yang melibatkan Vietnam sebagaimana sempat dijelaskan sebelumnya
telah berlangsung beberapa kali. Konflik disebabkan bersikeras antara para
pihak, terutama Vietnam dan Cina. Hingga sekarang Vietnam terus memperkuat
militer di wilayah kepulauan Spratly.
4. Filipina
Filipina
mulai menduduki kepulauan Spratly diawali pada tahun 1970. Prinsip utama yang
digunakan dalam klaim Filipina adalah Res Nullius. Filipina berpendapat klaim
mereka Res nullius karena tidak ada kedaulatan efektif atas pulau-pulau sampai
tahun 1930 ketika Perancis dan kemudian Jepang mengambil alih pulau. Ketika
Jepang meninggalkan kedaulatan mereka atas pulau-pulau sesuai dengan Perjanjian San Francisco
, ada pelepasan hak atas pulau-pulau tanpa penerima khusus.[20]
Klaim juga dilakukan karena prinsip ZEE yang dianggap Filipina bahwa kepulauan
Spratly termasuk didalamnya.
5. Malaysia
Malaysia
melakukan klaim terhadap kepulauan Spratly atas dasar peta Batas Landas
Kontinen. Memang secara jelas bahwa Sebagian wilayah kepulauan Spratly masuk ke
dalam wilayah landas kontinen Malaysia. Selain itu Malaysia pun melakukan
upaya-upaya lain seperti pendudukan, klain serta penamaan terhadap gugusan
pulau di kepulauan spratly.
Pendudukan
yang dilakukan Malaysia oleh pasukan militernya dimulai pada tahun 1977. Pada 4
September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke
Terumbu Layang-layang, dan pada tahun yang sama Malaysia melakukan survey dan
kembali menyatakan bahwa kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Hingga
saat ini penguatan basis militer di pulau-pulau tersebut semakin gencar dilakukan
mengingat kencangnya upaya klaim dari negara lain terutama Cina
6. Brunei
Darussalam
Klaim
yang dilakukan Brunei bukan terhadap gugusan pulau tetapi hanya pada wilayah
laut kepulauan Spratly. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri
untuk klaim dan pendudukan militer di
wilayah gugusan kepulauan spratly[21]
Brunei melakukan klaim atas dasar konsep ZEE dimana sebagian wilayah dari
kepulauan Spratly masuk dalam ZEE Brunei Darussalam.
C.
Upaya
Yang Telah Dilakukan Dan Harus Dilakukan Dalam Rangka Penyelesaian Sengketa
Permasalahan sengketa ini memang sulit dan berlarut
larut seperti dijelaskan sebelumnya, namun bukan sesuatu yang mustahil untuk
menyelesaikannya. Penyelesaian sangat perlu untuk dilakukan mengingat bahwa
sebagian besar negara bersengketa berada dalam satu atap yaitu ASEAN. Selain
itu hubungan antara ASEAN dan Cina perlu tetap dijaga karena jalinan kerjasama
yang sudah cukup baik terutama dalam perdagangan bebas. Oleh karena itu
upaya-upaya harus dilakukan oleh para pihak agar tidak terjadi lagi konflik ke
depannya.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
sengketa ini adalah:
1.
Perjanjian Bilateral.
Perjanjian
bilateral merupakan salah satu upaya yang mampu menjadi solusi bagi
penyelesaian sengketa para pihak. Perjanjian bilateral dianggap cukup efektif
karena hanya melibatkan dua negara sehingga dapat dibicarakan secara man to man. Beberapa perjanjian yang
telah dilakukan antara lain:
a. Pada tahun 1991, Cina melakukan
perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak bersama yang
berlangsung di Singapura.
b. Pada tahun 1992, Cina mengadakan pertemuan
bilateral dengan Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok
khusus dalam menangani sengketa perbatasan teritorial.
c. Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina melakukan hal
yang sama dengan menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas
bumi selama 40 tahun di wilayah yang disengketakan.
d. Cina dan Filipina juga melakukan
pertemuan untuk bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly.
e. Pemerintah Malaysia dan Brunei
Darussalam bertemu untuk membicarakan hak pengelolaan ladang minyak di sekitar Sabah.[22]
Namun
upaya perjanjian juga banyak tidak mencapai hasil yang maksimal. Diantara
perjanjian terjadi tumpang tindih sehingga sulit untuk dilaksanakan secara
maksimal. Selain itu tidak dibahas secara jelas dan tegas tentang kepemilikan
pulau yang merupakan inti permasalahan. Permasalahan lain adalah perjanjian
bilateral hanya melibatkan dua pihak bersengketa sehingga tidak memperhatikan
kepentingan negara bersengketa lainnya.[23]
2.
Perjanjian multilateral
Perjanjian
multilateral menjadi solusi selanjutnya dari penyelesaian sengketa tersebut.
Perjanjian multilateral dianggap mampu efektif karena perjanjian multilateral
melibatkan banyak pihak bahkan semua negara bersengketa, bahkan juga antara
forum negara-negara dengan negara bersengketa. Berikut perjanjian multilateral
yang pernah dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa kepulauan Spratly.
a. Deklarasi Kuala Lumpur 1971, yang membahas tentang kawasan damai,
bebas, dan netral (Zone of Peace, Freedom
and Neutrality) atau ZOPFAN.
b. Traktat Persahabatan dan Kerjasama
di Asia Tenggara, yang dihasilkan
dan disetujui pada KTT ASEAN I pada tahun 1976
c. Pembentukan ASEAN Regional Forum
(ARF), yang dibentuk
pada tahun 1994. Pertemuan
ARF pertama kali dilangsungkan di
Bangkok.
d. KTT ASEAN V tahun 1995, yang menghasilkan traktat mengenai
kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara (Treaty on South East Asia Zone-Nuclear Free Zone).
e. Technical Working Groups, Groups of
Experts dan Study Groups, yang dipelopori oleh Indonesia. Dialog ini melibatkan aktor-aktor
non-negara seperti ahli-ahli kelautan
dan para akademisi.
Dalam pembentukannya, tim yang tergabung mencari jalan terbaik bagi semua pihak
yang bersengketa dengan menjalankan proyek kerjasama dalam hal monitoring
ekosistem, keamanan navigasi, pelayaran dan komunikasi di Laut Cina Selatan. Dalam dialog
ini kemudian disepakati proyek
kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati.
f. Dibawanya
permasalahan ini oleh Indonesia ke ASEAN Post-Ministerial Conference, yang berhasil mendudukkan
22 negara se-Asia Pasifik.
g. Tahun 2002, ASEAN dan Cina
menandatangani Declaration on the Conduct
of Parties in South China Sea.
h. Pada bulan Maret 2005,
Cina-Vietnam-Filipina menandatangani MoU kerjasama dalam bidang eksplorasi energi dan sepakat untuk
menghentikan klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly.
i.
Pada tahun 2006 China-ASEAN Joint Working Group
melakukan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak (Cina dan
ASEAN) berkomitmen menjaga perdamaian dan
stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.[24]
Upaya
ini memang cukup efektif dalam penyelesaian sengketa jika dilihat dari situasi
setelah perjanjian. Selain itu beberapa perjanjian multilateral juga berupa
mediasi yang dipelopori oleh mediator sehingga perjanjian dapat berjalan lebih
baik. Namun tidak sepenuhnya berjalan dengan baik lagi-lagi karena tidak
dicapainya peta kepemilikan pulau, dan banyaknya pihak yang melanggar sendiri
perjanjian tersebut. Misalnya DOC yang secara nyata dilanggar dengan perusakan
kapal yang dilakukan oleh pihak-pihak sebagaimana sebelumnya dijelaskan.
3.
Perjanjian pengelolaan minyak dan gas
bumi bersama.
Perjanjian
ini belum pernah dilakukan para pihak yang bersengketa. Perjanjian ini dapat
menjadi usaha alternatif untuk meredam konflik di kepulauan Spratly. Dalam
hukum internasional, hal ini memang dimungkinkan untuk dilakukan. Perjanjian
semacam ini dapat dilihat misalnya perjanjian Indonesia dengan Australia dalam
pengelolaan dan pembagian di blok Cepu. Upaya ini dapat menjadi solusi karena
jika dilihat latar belakang permasalahan ini adalah karena potensi minyak dan
gas bumi yang berlimpah.
BAB 3
KESIMPULAN
Klaim
terhadap kepulauan Spratly dilakukan oleh 6 negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam,
Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Klaim yang dilakukan sudah dimulai
semenjak awal abad 20 hingga sekarang. Klaim semakin gencar dilakukan semenjak
ditemukannya fakta tentang kekayaan minyak yang terkandung di Kepulauan
Spratly. Selain itu letaknya yang strategis menjadi daya tarik selanjutnya
setelah potensi minyak tersebut.
Upaya
penyelesaian sengketa sudah lama dilakukan, namun sengketa masih saja berlanjut
hingga sekarang. Akibatnya banyak terjadi konflik antara negara bersengketa
yang sebenarnya merupakan negara berjiran. Upaya yang dapat dilakukan dan sudah
dilakukan antara lain perjanjian bilateral, perjanjian multilateral dan
perjanjian pengelolaan minyak dan gas bumi secara bersama.
[1]
Hamid Awaluddin, disampaikan dalam Kuliah Hukum Internasional Fakultas Hukum
Unhas tentang unsur-unsur negara, pada tanggal 17 Oktober 2011.
[2]Dieter
Heinzig dalam “Konflik Laut CIna Selatan”, http://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91
(diakses tanggal 21 Maret 2012)
[3]
Mukhammad Endry Saputra, “DIplomasi Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik di
Kepulauan Spratly. http://esaputraangkasa.blogspot.com/2011/07/diplomasi-sebagai-upaya-penyelesaian.html
(diakses tanggal 21 Maret 2012).
[4]
Wikipedia, “Spratly islands dispute, http://en.wikipedia.org/wiki/Spratly_Islands_dispute
(diakses tanggal 21 Maret 2012)
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
R.M. Jerry Indrawan, “Konflik Kepulauan Spratly”, diunduh dari http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html,
(diakses tanggal 21 Maret 2012).
[8]
Yulia Permatasari, “ Skripsi: Aspek Politik dan Keamanan dalam Konflik di Laut
Cina Selatan.” http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1204/SKRIPSI%20BAB%20I%20-%20V.docx?sequence=2,
(diakses tanggal 21 Maret 2012).
[9]
Ibid.
[10]
Ibid.
[11]
Pyonk, “Konflik Kepulauan Spratly”. http://pyonk2pyonk.blogspot.com/2011/12/konflik-kepulauan-spratly.html, (diakses tanggal 21 Maret 2012)
[12]
Yulia Permatasari, Loc. Cit.
[13]
Ibid.
[14]
The Cina Times dalam Sandy Nur Ikfal Raharjo, Sengketa
Kepulauan Spratly: Tantangan bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011, http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/472-sengketa-kepulauan-spratly-tantangan-bagi-indonesia-sebagai-ketua-asean-2011,
(diakses tanggal 21 Maret 2012)
[15]
VOA dalam ibid.
[16]
Wenaldy Andarisma, “Konflik Laut CIna Selatan”, http://irjournal.webs.com/apps/blog/show/4113964 (diakses tanggal 21 Maret 2012)
[17]
Mukhammad Endry Saputra, Loc.cit.
[18]
Ibid.
[19]
Ibid.
[20]
Wikipedia, Loc.cit.
[21]
Mukhammad Endry Saputra, Loc.cit.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid.
LAMPIRAN
TABEL 1.1
Territorial claims in the Spratly and Paracel Islands
(sumber: http://www.globalsecurity.org/military/world/war/spratly-claims.htm)
Country
|
Claim
|
Control
|
Brunei
|
Does not claim any of the islands, but claims part of the South China Seas nearest to it as part of its continental shelf and Exclusive Economic Zone (EEZ). In 1984, Brunei declared an EEZ that includes Louisa Reef. | |
China
|
Refers to the Spratly Islands as the Nansha
islands, and claims all of the islands and most of the South China Sea for
historical reasons. These claims are not marked by coordinates or otherwise
clearly defined. Chinese claims are based on a number of historical events, including the naval expeditions to the Spratly Islands by the Han Dynasty in 110 AD and the Ming Dynasty from 1403-1433 AD. Chinese fishermen and merchants have worked the region over time, and China is using archaeological evidence to bolster its claims of sovereignty. In the 19th and early 20th century, China asserted claims to the Spratly and Paracel islands. During World War II, the islands were claimed by the Japanese. In 1947, China produced a map with 9 undefined dotted lines, and claimed all of the islands within those lines. A 1992 Chinese law restated its claims in the region. China has occupied some of those islands. In 1976, China enforced its claim upon the Paracel Islands by seizing them from Vietnam. China refers to the Paracel Islands as the Xisha Islands, and includes them as part of its Hainan Island province. |
|
Indonesia
|
Not a claimant to any of the Spratly Islands. However, Chinese and Taiwanese claims in the South China Sea extend into Indonesia's EEZ and continental shelf, including Indonesia's Natuna gas field. | |
Malaysia
|
Claims are based upon the continental shelf principle, and have clearly defined coordinates. Malaysia has occupied three islands that it considers to be within its continental shelf. Malaysia has tried to build up one atoll by bringing soil from the mainland and has built a hotel. |
Malaysia controls the following islands in the Spratlys:
|
Philippines
|
Its Spratly claims have clearly defined coordinates, based both upon the proximity principle as well as on the explorations of a Philippine explorer in 1956. In 1971, the Philippines officially claimed eight islands that it refers to as the Kalayaan, partly on the basis of this exploration, arguing that the islands: 1) were not part of the Spratly Islands; and 2) had not belonged to anybody and were open to being claimed. In 1972, they were designated as part of Palawan Province, Kalayaan municipality. The total land area of these islands is 790,000 sq meters. |
The Philippines
control the following islands in the Spratlys:
|
Taiwan
|
Taiwan's claims are similar to those of China, and are based upon the same principles. As with China, Taiwan's claims are also not clearly defined. |
Taiwan controls Itu
Aba [Taiping Dao] Island, the largest single island among the Spratlys
|
Vietnam
|
Vietnamese claims are based on history and
the continental shelf principle. Vietnam claims the entire Spratly Islands as
an offshore district of the province of Khanh Hoa. Vietnamese claims also
cover an extensive area of the South China Sea, although they are not clearly
defined. The Vietnamese have followed the Chinese example of using
archaeological evidence to bolster sovereignty claims. In the 1930's, France
claimed the Spratly and Paracel Islands on behalf of its then-colony Vietnam.
Vietnam has occupied a number of the Spratly Islands. In addition, Vietnam claims the Paracel Islands, although they were seized by the Chinese in 1974. |
In the Spratlys, Vietnam controls 21 islands, reefs,
shoals, and cays:
|
GAMBAR 2.1
GAMBAR 2.2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar